Kota Tua Jakarta, juga dikenal dengan sebutan Batavia Lama (Old Batavia), adalah sebuah wilayah kecil di Jakarta. Wilayah khusus ini memiliki luas 1,3 kilometer persegi melintasi Jakarta Utara dan Jakarta Barat (Pinangsia, Taman Sari dan Roa Malaka). Kota Tua Jakarta merupakan wisata yang terjangkau oleh semua kalangan warga ibukota, untuk menghilangkan kepenatan dari rutinitas.
Namun di balik wisata eksotis kawasan peninggalan Belanda ini, ternyata ada cerita horor yang terjadi di tempat itu, salah satunya adalah yang diungkapkan temanku saat mengunjungi dan menikmati wisata di Kota Tua Jakarta.
Saat itu aku dan Nina yang sama-sama kuliah di Yogyakarta sedang mengunjungi salah seorang teman kami ketika di SMA dulu dan kini kuliah di sebuah Universitas di Jakarta. Nama temanku itu adalah Shasha, seorang mahasiswi ekonomi yang suka fotografi. Meski belum bisa dibilang professional tapi hasil jepretannya lumayan bagus dibandingkan kami yang awam ini. Memang dunia fotografi sudah menjadi hobinya sejak lama. Kami ingat ketika suatu hari, Shasha mengajak kami main ke kost nya di Jakarta.
“Ayo dong Rina, gantian main ke kost-ku!” pinta Shasha melalui handphone-nya. “Ajak Nina sekalian biar ramai!”
Ya, liburan semesteran lalu Shasha sudah main ke Jogja, lalu kami bertiga menghabiskan liburan dengan mengunjungi berbagai tempat wisata di kota itu. Shasha yang suka memotret tentu tidak ketinggalan membawa kameranya. Dia memotret alam panorama Jogja yang indah dan bangunan-bangunan bersejarahnya, termasuk juga kami ikutan kena hasil jepretannya. Saat kita pasang di facebook dan instagram, kami menuai pujian… kata teman-teman hasil fotonya bagus.
“Ini kan bukan liburan semesteran Sha, aku bukannya mau menolak lho, aku sih senang saja bisa main ke Jakarta. Tapi…”
Belum selesai aku bicara, dia sudah memotongnya, “Lho kan ada Harpitnas tuh… Hari Kejepit Nasional… heheheh. Lihat tuh kalender, hari kamis dan Jumat kan tanggal merah. Nanti kuajak ke Kota Tua Jakarta deh… aku ambil foto kalian, biar bisa dipajang di facebook dan instagram… banyak yang memuji kan?”
“Ah, kamu bisa aja! Ok lah aku ajak Nina ke sana!”
Aku tidak bisa beralasan lagi, kulihat memang ada dua hari tanggal merah. Esoknya aku dan Nina segera memesan tiket Kereta Api ke Jakarta. Untunglah Shasha memberitahukan adanya tanggal merah dobel itu jauh-jauh hari, sehingga kami tidak kehabisan tiket.
Akhirnya, sesuai janji Shasha: aku dan Nina dengan beberapa orang teman Shasha mengadakan sesi pemotretan di wilayah Kota Tua Jakarta, Jakarta Barat. Model pemotretan itu tentulah kami sendiri. Karena berseting malam hari, kami melakukan beberapa persiapan yang lumayan merepotkan, demi mendapat pencahayaan dan kualitas gambar yang bagus dan eksotis.
Sekitar pukul 10.00 malam, kami sampai di kawasan Museum Fatahillah, Kota Tua Jakarta. Ketika sampai, di kawasan itu masih terdapat beberapa orang yang juga melakukan sesi pemotretan. Tidak lama setelahnya, kami mempersiapkan peralatan dan memulai sesi pemotretan.
Sekitar pukul 11.30 malam, kami telah selesai. Kami pun berbincang untuk membereskan peralatan dan menghilangkan lelah. Teman-teman Shasha pun satu persatu pamit untuk pulang. Hingga tinggal kami bertiga yaitu Shasha, Nina dan aku, kami masih enggan pulang dan masih ingin ngobrol bareng di tempat wisata itu.
“Wah, ternyata asyik ya Kota Tua ini!” seruku senang.
“Ya iyalah, bangunannya sungguh eksotis dan megah.” tambah Nina.
“Yup, bangunan ini bekas peninggalan Belanda, jadi arsitekturnya juga manis dan megah mengingatkan akan masa lalu! banyak kan yang melakukan pemotretan di sini.” balas Shasha bangga.
Ketika kami sedang asik berbincang, kulihat Nina seperti tidak fokus, matanya menatap ke arah ujung gang tempat kami berada, awalnya kami juga mengikuti arah mata Nina, tapi karena kami tidak mendapati apapun yang aneh kami pikir Nina hanya ingin melihat sekeliling saja.
“Eh, kalian lihat nggak… tuh yang di ujung gang itu!” teriak Nina pelan.
Kami segera mengikuti petunjuk Nina melihat ke arah ujung gang. Ya kali ini kami bisa melihat ada seorang perempuan yang berdiri dengan mengenakan pakaian zaman kolonial Belanda.
“Ah, paling dia juga model seperti kalian!” seru Shasha.
“Ya bedalah, kalau dia model professional, makanya memakai kostum khusus! Kalau kami ini model dadakan dengan kostum keseharian!” bantahku.
“Emang kalian ingin difoto dengan kostum Noni Belanda?” tanya Shasha kemudian.
“Waduh, malas makainya. Udah bajunya berat, wajah juga mesti dirias tebal seperti itu!” jawabku.
“Betul kata Rina, ntar kita kerepotan sendiri. Apalagi mesti menghapus make up-nya… aduh paling malas deh!” timpal Nina.
“Mmh… iya sih… persiapannya bikin ribet!” akhirnya Shasha mengamini kami, “Tapi kalau dilihat bagus banget ya? Pakaiannya sungguh pas dan cocok di badan, riasannya juga sesuai. Pasti stylist-nya profesional banget.” ujarnya lagi.
“Tapi kenapa raut mukanya tampak sedih gitu ya?” tanya Nina kepada kami.
“Mungkin malas jadi model tapi dipaksa-paksa… hehehe!” jawabku seenaknya.
“Sudahlah, nggak usah ngomongin orang. Kita di sini kan untuk menikmati pemandangan Kota Tua di malam hari bukan buat menilai orang lain!” Shasha seperti enggan melanjutkan perbincangan tentang perempuan berkostum Noni belanda itu.
Kamipun lalu mengganti topik pembicaraan, lagian kalau hanya membicarakan tentang orang lain juga nggak ada gunanya, mendingan membahas tentang rencana liburan semesteran yang akan datang, kita mau kemana nih. Namun di sela-sela obrolan kami, terlihat Nina sesekali melempar pandangan ke arah ujung gang itu. Tapi itu tidak kami perhatikan dengan serius, toh kita sudah sepakat mengganti obrolan ke yang lain.
Sampai akhirnya kami menyadari kalau Nina seperti gemetaran. “Nin, kamu kenapa? Kedinginan atau sakit?” tanyaku. Kulihat mukanya agak pucat, dia tampak ketakutan.
“Aku melihat ada yang janggal dengan tatapan perempuan berkostum Noni Belanda itu, sangat dingin dan tajam!” begitu ucapnya dengan suara bergetar.
Segera kami mengalihkan pandangan ke arah ujung gang, tapi perempuan itu sudah tidak ada.
“Sudah nggak ada tuh!” kata Shasha.
“Mungkin sudah pulang kayak teman-teman kita tadi!” tambahku.
“Enggak… enggak… perempuan itu masih di situ… eh... dia… dia malah berjalan ke sini… menuju tempat kita!” terbata-bata Nina mengucapkan kalimat itu. Suaranya juga bergetar.
Aku dan Shasha jelas terkejut dan bingung, sebab kami tidak melihat seperti yang diucapkan olehnya. Perempuan berkostum Noni Belanda itu memang tidak ada, tapi Nina juga tidak mungkin bohong, dia itu polos sekali serta ucapannya seperti tidak dibuat-buat, dia benar-benar ketakutan.
“Takut… takut!” teriaknya sungguh ketakutan, dia sampai memejamkan mata dan memelukku dengan sangat erat.
Dan di saat itulah, tiba-tiba kami merasakan hawa dingin yang berhembus ke arah kami, diikuti bau aneh yang menyengat. Namun kejadian itu tidak lama, selang beberapa saat kemudian menghilang dengan sendirinya. Suasana mencekam pun sirna, kembali seperti semula.
Setelah menenangkan diri sejenak, Nina akhirnya bercerita kalau perempuan itu datang menghampirinya, mengucapkan kalimat berbahasa Belanda yang dia tidak mengerti. Tapi yang membuatnya ketakutan adalah ternyata perempuan itu membawa senapan model lama di tangan kirinya dan tangan kanannya menunjuk nunjuk ke kepalanya, perempuan itu berbicara dengan nada tinggi, jelas sekali kalau dia sangat marah, namun Nina tidak tahu maksud ucapannya karena beda bahasa.
Begitu Nina melihat kepala yang ditunjuk oleh perempuan itu, terlihat lobang yang mengucurkan darah segar, tampaknya kepala itu sudah ditembak. Nina tidak tahan melihat itu semua makanya dia memejamkan mata dan merangkulku dengan erat.
Mendengar cerita Nina, kontan kami jadi ketakutan, akhirnya kami lari menuju mobil, lalu buru-buru tancap gas dari kawasan itu. Hingga hari ini, kami tidak tahu siapa perempuan berkostum Noni Belanda itu. Tetapi menurut berita dari mulut ke mulut ternyata kawasan Kota Tua Jakarta memang angker pada malam hari. Banyak laporan penampakan di sana. Dan Nina sudah melihat sendiri. Ia tidak akan melupakan kejadian itu seumur hidupnya.
No comments:
Post a Comment