Monday, August 2, 2021

Toilet Tua Di Kampus


(Gambar Hanya Ilustrasi, bukan tempat kejadian sebenarnya)


Kalau sudah libur, asrama disini, tidak peduli asrama putri ataupun putra, termasuk Asrama Dalun, akan selalu sepi. Disini kadang memang terdengar desas-desus aneh yang tidak bisa dijelaskan. Salah satu staf pengajar yang tinggal di lantai satu juga mengalami kejadian aneh. Kebetulan aku mempunyai teman yang cukup akrab dengan staf disini, jadi dari dialah aku mendengar beberapa cerita seram. Salah satu cerita yang paling seram adalah mengenai keangkeran toilet di asrama tersebut. Akibatnya terkadang aku menjadi takut untuk pergi ke toilet kalau sudah sangat malam.

Asrama Dalun memiliki sebuah tempat mandi umum. Di dalamnya ada sebuah bak. Air biasanya dipanaskan dengan menggunakan tungku besar. Disini, kamar mandi dan toilet berada di satu tempat. Di depan pintu masuk terdapat sederet wastafel dan cermin. Agak masuk ke dalam adalah dereten toilet. Dan masuk ke dalam lagi adalah tempat mandi.

Jadi ada satu cerita, pernah ada satu anak yang karena merasa gerah di tengah malam, jadi memutuskan untuk mandi sendirian. Karena tengah malam memang tidak ada orang, maka air di bak pun sudah mendingin. Pada saat sedang asyik menggosok badan tiba-tiba terdengar suara,

“Piak piak piak,” seperti suara ada orang yang berlari melintasi bak, sampai menyebabkan percikan air.

Dilihat seluruh sisi, tidak kelihatan satu orang pun, bagaimana mungkin ada suara? Jadi tanpa peduli apa-apa lagi, dia langsung berlari keluar. Keesokan harinya dia jatuh sakit.

Berikutnya ada satu cerita lagi, seorang mahasiswa yang mempunyai kebiasaan bangun pagi. Pada saat itu musim dingin, langit masih gelap. Waktu itu dia seorang diri ke area kamar mandi untuk mengggosok gigi sambil menundukkan kepala. Tiba-tiba, melalui pantulan cermin, dia melihat ada seseorang berjalan melintasi dia masuk ke toilet. Tidak lama dia berjalan keluar. Beberapa saat lagi, jalan masuk lagi, lalu keluar lagi. Kejadian ini terjadi beberapa kali. Karena sang anak merasa keheranan jadi ketika orang itu masuk ke toilet, dia pun ikut masuk ke bagian toilet. Ternyata tidak ada satu orang pun disana, dan lebih herannya lagi, seluruh pintu toilet terbuka.

Satu lagi, ada kisah seorang anak asrama yang gara-gara salah makan sehingga sakit perut. Masalahnya dia tipe orang yang punya kakus langganan, yakni kakus yang di toilet nomor tiga. Pada saat itu, di tengah malam, pada saat dia masuk ke area toilet, dari semua toilet yang ada, ternyata toilet nomor tiga sudah dipakai orang. Mau tidak mau dia pun masuk ke sebelahnya. Di saat dia sedang duduk, dari toilet nomor tiga terdengar suara helaan napas terus menerus. Si anak itu tidak menghiraukannya. Setelah selesai dia pun pergi.

Beberapa saat kemudian, si anak ini sakit perut lagi, jadi dia bergegas ke kamar mandi. Ternyata toilet nomor tiga masih tetap dipakai. Dia pun mencoba mengetuk pintu toilet itu. Dari dalam terdengar suara ketukan balasan. Mau tidak mau terpaksa ke toilet sebelah. Dan terus menerus mendengar suara helaan napas.

Dan ini terjadi beberapa kali. Karena merasa kesal dia pun mencoba bertanya, “Bro, kamu baik-baik saja?” Namun tidak ada balasan sama sekali.

Jadi dia pun memberanikan diri untuk mengetuk pintu toilet tiga itu dengan keras. Tanpa diduga pintu itu pun terbuka perlahan-lahan. Sebersit angin yang dingin melintasi dirinya. Dia merasa penasaran kemudian mengintip ke dalam. Satu jejak orang pun tidak ada disana. Jadi yang tadi ketuk balik pintunya siapa? Yang terus mengeluarkan suara helaan napas itu siapa? Mahasiswa itu pun akhirnya langsung pindah sekolah meskipun semesternya belum berakhir. 


Thursday, June 24, 2021

Misteri Perempuan Berambut Panjang

 



Aku dan Erica adalah mahasiswa baru yang sedang mengalami masa orientasi. Kami berdua diterima di Universitas Indonesia dan kami juga tinggal di kost yang sama di kawasan Depok. Kejadian aneh ini aku alami pada Jum’at malam. Ketika itu aku sedang asyik mengobrol di kamar Erica sambil mendengarkan musik. Sengaja kami berdua akan menghabiskan malam dengan bermalas-malasan setelah seharian di plonco mahasiswa senior dan kebetulan besok adalah tanggal merah, jadi tidak perlu repot untuk bangun pagi.

Di kost ini ada sepuluh kamar, namun hanya kami berdua yang tinggal di kost. Penghuni kost lainnya adalah rata-rata mahasiswa senior semester 3 dan 5. Sehingga mereka semua masih libur dan belum pulang ke kost. Di saat asyik mengobrol dengan Erica, tiba-tiba aku merasa ingin buang air kecil. Aku pun segera pergi ke kamar mandi meninggalkan Erica sendirian di kamar yang sedang memutar-mutar gelombang radio mencari lagu-lagu yang apik. Setelah merasa lega, dan hendak keluar dari kamar kecil tiba-tiba saja kejadian aneh menimpaku. Pintu kamar mandi terasa sulit aku buka, seperti terkunci dari luar. Aku mencoba mendobrak-dobrak pintu kamar mandi sambil teriak minta tolong kepada Erica.

“Tolong... tolong... Erica... Erica... tolong aku, aku terkunci di kamar mandi...” teriakku sekeras mungkin.

Namun Erica tidak juga merespon teriakanku. Aku mencoba lagi berteriak minta tolong kepada Rica sambil mendobrak-dobrak pintu kamar mandi, “Erica... Erica... tolong akuuu...” aku berteriak sekuat tenaga.

Di saat aku berteriak-teriak memanggil Erica, tiba-tiba lampu kamar mandi menjadi aneh... nyala... mati... nyala...mati... nyala dengan sangat terang dan kemudian perlahan-lahan meredup sangat kecil hampir mati. Tiba-tiba aku mendengar suara rintihan perempuan sambil terisak-isak dan berkata, 

“Jangan pergi... jangan tinggalkan saya... temani saya.”

Perempuan itu sudah berkata 3 kali dengan perkataan yang sama dan tiba-tiba berhenti. Aku merasa semuanya sudah berakhir, tapi kenapa nyala lampunya masih redup dan bulu kudukku semakin berdiri serta aku merasa seperti ada sesuatu yang ingin membuat aku menghadap belakang. Akhirnya aku menghadap belakang dan aku melihat sosok perempuan berambut panjang dengan banyak bercak-bercak darah di bajunya yang berwarna putih. Akhirnya aku kembali berteriak dan pintu pun terbuka. 

Di depan pintu kamar mandi sudah terlihat Erica memegangiku sambil memandangiku dengan tatapan curiga dan penuh tanya.

“Kamu kenapa Wina...?” tanya Erica sambil memegangiku.

“Kamu nggak dengar aku teriak minta tolong ya...” tanyaku sedikit kecewa.

“Sumpah, aku tidak dengar apa-apa Win... memangnya ada apa?” tanya Erica penuh selidik.

“Aku tadi melihat perempuan berambut panjang serem banget... Aku takut sekaliii Ric... aku tidur di kamarmu aja ya...” pintaku pada Erica.

“Iya... iya... ya sudah, sekarang kamu tenang aja... malam ini kamu tidur bersamaku.” Jawab Erica sambil membimbingku menuju ke kamarnya.

Kemudian aku mulai menceritakan kejadian yang aku alami di kamar mandi tadi kepada Erica. Erica pun mencoba menghiburku dan mulai mengajak ngobrol dengan topik yang lain. Lama sekali kami berdua mengobrol, hingga akhirnya kami berdua sama-sama tertidur.

Di dalam tidurku, aku bermimpi bertemu dengan perempuan berambut panjang tadi. Perempuan itu menangis dan bercerita padaku kalau ia telah diperkosa dan disiksa oleh segerombolan perampok di dalam kamar mandi itu dan ditinggalkannya sendirian dengan pintu yang terkunci dari luar hingga akhirnya ia meninggal di kamar mandi itu. Perempuan itu pun kembali menangis dan merintih serta berkata kepadaku,

“Jangan pergi... jangan tinggalkan saya... temani saya...”

Aku pun terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhku... saat itu pula Erica juga terbangun dan bertanya kepadaku,

“Kenapa Win... ada apa?? Kamu mimpi buruk ya...?” tanya Erica.

Spontan aku menjawab pertanyaan Erica dengan nada terbata-bata sambil menangis,

“Erica... aku besok mau pindah kost...”


Wednesday, June 16, 2021

Rumah Warisan Kakek

(Gambar Hanya Ilustrasi, Bukan Tempat Kejadian Sebenarnya)


Setelah SK pensiun ayah turun, satu bulan kemudian kami meninggalkan rumah dinas yang sudah berpuluh puluh tahun kami tempati. Kami sekeluarga kemudian pindah ke Banjarnegara, di mana masa kecil ayah saya dihabiskan di sana. Di Banjarnegara, kami tinggal di sebuah rumah tua yang tak lain adalah rumah almarhum kakek buyut saya. Rumah itu sudah diwariskan secara turun-temurun dari kakek buyut keluarga kami. Rumah dengan arsitektur Belanda yang ukurannya cukup besar bahkan sampai sekarang. Namun karena hanya ditempati oleh nenek dan kakek saya saja, rumah ini menjadi agak tidak terawat dan menimbulkan berbagai sisi menyeramkan di setiap sudutnya.

Rumah dua lantai dengan ruang tengah seperti sebuah ballroom ini setiap harinya hanya ditempati dua orang renta yang sudah semakin menua usianya. Rumah itu telah menjadi saksi meninggalnya sanak saudara sejak kakek buyut saya. Jadi tidaklah heran jika suasana aneh kadang bermunculan di tempat ini.

Suatu malam sekitar pukul 02.30 dini hari aku terbangun karena merasa ingin buang air kecil. Di rumah itu, kamar mandinya berada di luar rumah inti di bagian belakang tapi masih dalam satu halaman yang dikelilingi pagar tembok yang tinggi. Di halaman belakang tersebut terdapat 3 buah kamar mandi yang berderet serta sebuah sumur tua di sampingnya. Di samping sumur, terdapat pohon asam yang besar karena usianya yang sudah tua. Selain itu, di halaman belakang tersebut juga terdapat dua pohon mangga dan satu buah pohon sawo yang sama besarnya.

 Ketika aku berjalan di depan deretan kamar mandi tersebut, dari dalam sumur seperti terdengar suara aneh yang mengepak-ngepak. 

“Waduh... jangan-jangan ada kucing atau tikus yang tercebur ke dalam sumur nih...” pikirku.

Kemudian aku berjalan menuju samping sumur untuk menyalakan lampu agar terlihat jelas. Begitu aku menyalakan lampu, suara kepakan tersebut tiba-tiba hilang dan lenyap. Aku melongok ke dalam sumur, tapi tidak terdapat apa-apa. Akhirnya aku kembali mematikan lampu dan menuju ke salah satu kamar mandi untuk buang air kecil yang sudah sedari tadi aku tahan.

Setelah selesai buang air, aku memutuskan untuk kembali ke kamarku. Namun aku mendengar suara orang yang sedang mandi di kamar mandi sebelahku tempat aku buang air kecil tadi.

“Siapa nih malam-malam begini mandi... nggak dingin apa?” teriakku. Namun tak ada jawaban dari kamar mandi tersebut.

“Ayah... Ibu... atau Agus nih...” lanjutku mencoba menebak siapa yang ada di dalam kamar mandi sambil aku mengetuk pintu tersebut. Namun tak ada jawaban juga.

“Ah.. paling tidak dengar, karena suara air kran yang begitu keras,” pikirku sambil meninggalkan tempat itu menuju ke kamarku.

Hingga pagi harinya, saat kami semua sarapan pagi bersama di ruang makan aku menanyakan kepada seluruh keluargaku siapa yang dini hari tadi mandi. Tapi tidak ada yang mengaku. Termasuk juga mbok Inem, pembantu kami juga aku tanyai. Tapi mbok Inem juga menyatakan bahwa semalam dia tidak keluar ke kamar mandi. Sontak kejadian ini membuat semuanya ramai membicarakannya.

“Mimpi kalee...” ledek Agus, adikku.

“Mungkin karena kakak masih ngantuk, jadi seperti mendengar suara-suara.” lanjut ibuku.

Malam selanjutnya, tepat jam 2 pagi aku kembali merasa ingin buang air kecil. Kemudian aku memberanikan diri kembali ke kamar mandi tersebut. Dan seperti malam-malam sebelumnya, aku selalu mendengar suara orang sedang mandi. Karena rasa penasaran, aku berjalan mengendap-ngendap, hingga akhirnya berusaha mengintip ke dalam kamar mandi tersebut. Dalam jarak 1 meter sebelumnya, suara itu masih terdengar. Namun, begitu terkejutnya aku saat aku mengintip ke dalam. Tidak ada satupun orang di dalamnya! Dan suara gemericik air pun tiba-tiba berhenti. Beberapa menit kemudian, bau yang sangat harum menyengat tercium di sekitar deretan kamar mandi tersebut. Dalam keadaan gelap gulita, kamar mandi itu semakin terlihat menyeramkan. Bulu kudukku spontan berdiri karena ketakutan. Akhirnya aku berlari kembali masuk rumah inti dan menuju kekamarku.

Esoknya, aku meminta ayah agar didalam rumah inti diberi satu buah kamar mandi agar kalau malam hari terasa ingin buang air kecil tidak perlu ke luar dari rumah inti lagi. Untunglah ayahku menyetujui usulku tadi karena merasa kasihan melihatku setiap malam harus merasa ketakutan.

Tuesday, June 15, 2021

Segenggam Tanah Kuburan

(Gambar Hanya Ilustrasi)


Sudah hampir tiga tahun ini, aku menempati rumah yang aku beli dari hasil jerih payahku selama bertahun-tahun. Setelah sekian lama aku mengontrak, akhirnya aku bisa membeli rumah sendiri meskipun tidak mewah. Aku sengaja membeli rumah di daerah Bekasi ini agar tidak terlalu jauh dari tempat kerjaku.

Aku tinggal di rumah ini bersama istri dan kedua anakku yang masih kecil-kecil. Kami sangat bahagia dan merasa nyaman tinggal di rumah ini. Masyarakatnya pun menerimaku dengan baik, hingga mereka mengangkatku sebagai ketua RT dimana aku tinggal. Namun sudah hampir 1 minggu ini, kami merasa ada yang aneh dengan rumah ini. Panas, bringsang dan sangat tidak nyaman. Tiga kalimat itulah yang bisa dipakai untuk mendiskripsikan secara ringkas suasana rumahku saat ini, rumah yang sangat teduh dan sangat adem alias home sweet home hampir tidak ada bekasnya sama sekali. Rasanya selalu ingin keluar dari rumah, tidak kerasan. Persoalan yang remeh-remeh bisa menjadi awal pertengkaran yang hebat diantara kami. Kami sendiri merasa heran dengan kondisi ini, rasanya semua pintu jadi tertutup, termasuk rezeki yang biasanya melimpah dari Allah SWT. Uang jadi mudah keluar, masuk sedikit keluarnya lebih banyak. Begitu seterusnya. Bahkan, tetangga yang biasanya ramah jadi kelihatan aneh. Mereka seperti ketakutan ketika melintas di depan rumah kami itu.

Ketika rapat warga beberapa hari yang lalu, masuk informasi yang membuat tambah ruwet pikiranku. Dengan sangat serius pak Heru tetangga depan rumah berbisik padaku, 

“Pak RT, mohon maaf ya… beberapa hari yang lalu, bapak-bapak yang sedang giliran ronda kampung melihat jelas tiga sosok pocong masuk dan hilang di rumah bapak.” katanya dengan mimik serius. 

“Masuknya lewat atap, Pak.” timpal pak Dhoni yakin.

Rapat RT yang seharusnya membahas masalah parkir mobil warga, jadi bergeser. Beberapa bapak yang lain juga menyampaikan info yang sama, malah pak Amir yang rumahnya mepet denganku dengan terbata-bata memberikan info tambahan,

“Pocong itu muncul dari arah gang besar dan terbang masuk ke rumah Bapak kira-kira pukul 11 malam, belum terlalu malam lho, Pak.” katanya dengan bergidik sambil tangannya meraih potongan pisang goreng.

Aku cuma bisa diam, kepalaku mendadak pusing. “Apa yang sesungguhnya terjadi dengan rumahku. Terus apa yang diinginkan dengan diriku,” pikirku dalam hati. 

Sebagai ketua RT, aku sudah menjalankan amanah warga dengan baik, anak dan isteriku pun termasuk cekatan, dan sangat familiar dengan seluruh tetangga. Jadi menurutku semua baik-baik saja, tapi kenapa jadi begini.

Belum sempat aku menemukan jawabannya, pak Arif koordinator ketenteraman lingkungan sudah memberikan pernyataan yang membuat pertemuan jadi heboh,

“Mungkin… ada yang tidak suka dengan Pak RT, dan menginginkan Pak RT pindah rumah, atau menjual rumahnya segera. Kalau Pak RT mau, mbok segera sowan ke ustad Sidiq untuk minta penerang.” katanya.

“Penerang? Baik Pak, nanti saya segera sowan ustad Sidiq, mumpung kamis depan, beliau memberi tauziah di masjid kita.” kataku mendinginkan suasana.

Pertemuan warga kemudian bubar kurang lebih sekitar pukul 10 malam. Dengan wajah tegang dan takut-takut bapak-bapak itu meninggalkan balai pertemuan warga yang letaknya hanya lima rumah dari tempat tinggalku. Pos kamling yang biasanya ramai jadi sepi. Penjual tahu campur dan mie dok-dok lebih memilih jalan melingkar, menghindari gang rumahku.

Aku sendiri kemudian memilih cangkrukan di depan rumah ditemani pak Heru yang pensiunan marinir dan pak Amir. “Biar saya dan pak Amir melekan di sini Pak RT.” katanya ramah. 

Kami bertiga lalu ngobrol sana sini dan menghindari pembicaraan yang menjurus ke arah munculnya pocong itu. Hawa dingin di akhir bulan Desember membuat suasana malam itu agak lain. Angin yang bertiup agak kencang menerobos daun-daun yang cukup rindang di kompleks perumahan kami itu. Menjatuhkan daun-daun yang sudah tua.

Pelan tapi pasti angin kemudian bertiup makin kencang, suaranya cukup gaduh. Kami bertiga terdiam, hanya pak Amir yang terdengar berdzikir sambil memutar-mutarkan butiran-butiran tasbihnya. Sementara aku dan pak Heru siaga menyikapi gejala alam yang lain dari biasanya itu.

“Hati-hati Pak RT.” bisik pak Amir sambil tangannya meraih tasbih yang ada di saku bajunya. Akupun mulai membaca tasbih dalam hati. Dibarengi dengan tiupan angin yang luar biasa kencang, tiba-tiba terdengar bunyi ledakan yang cukup keras dari pohon serut pojok rumah, disusul munculnya asap yang cukup tebal turun dari atas pohon itu.

Meskipun kami sudah sama-sama menduga, namun tak urung kaget juga. Dengan beringsut kami bertiga agak bergeser menjauh. Kelihatannya asap tebal itu turun dengan energi yang cukup besar, turunnya seperti gulungan asap dengan bulatan yang besar menggoncang seluruh pepohonan yang ada di depan rumahku. Bersamaan dengan hilangnya asap itu muncul sosok yang membuat hati kami berdebar cukup kencang. 

“Untung anak isteriku sudah tidur nyenyak sejak sore tadi,” pikirku. Kalau tidak dijamin mereka bisa pingsan berdiri. Pak Heru yang pensiunan marinir saja, terlihat agak goyah melihat wujud pocong yang mirip guling besar itu.

Mungkin kalau yang muncul itu adalah pocong dalam bentuk yang wajar, kami masih sanggup menatapnya dengan hati yang tegar. Namun pocong itu muncul dengan sosok yang begitu menakutkan, kain kafannya tercabik-cabik dengan lelehan darah busuk di sana-sini, wajahnya penuh luka sayat yang menebarkan aroma yang memuakkan. warna kain kafannya tidak lagi putih melainkan sudah berubah menjadi merah kecoklat-coklatan.

Pak Amir yang memang lulusan pesantren kemudian maju, dengan dialog bathin langsung mengajukan pertanyaan yang tegas terhadap sosok pocong itu, “Kisanak, siapakah Anda ini… dari mana dan kesini mau apa?” 

“Aku Ramelan… dari daerah Subang. Aku kesini mau meminta kembali barangku yang disimpan dirumah ini…” jawabnya dengan nada yang tidak ramah sama sekali.

“Apa wujud barangmu dan siapa pula yang membawanya ke rumah ini?” tanya pak Heru untuk mencari informasi lebih lanjut.

“Barangku itu berwujud tanah, meskipun hanya tanah namun bagiku itu sangat penting, karena tanah itu rumahku yang sudah bagus jadi rusak. Yang membawa tanah itu orangnya tidak ada di sini…!” jawabnya dengan suara yang berat tanpa mau menyebutkan orang yang telah membawa tanah itu masuk dalam rumahku.

Mendengar itu, aku jadi paham kenapa rumahku suasananya jadi berubah, panas dan penuh dengan hawa amarah yang membuat tidak kerasan. 

“Kurang ajar… ada yang mau main-main denganku,” kataku dalam hati. 

Pak Amir langsung tanggap dan mencoba menahan diriku yang mulai agak emosi. “Maaf Mas Ramelan, kalau memang barang itu ada di sini, saya tetap tidak akan memberikan sebelum kamu menyebutkan siapa yang menaruh barang itu di sini.” katanya tegas.

Aku dan pak Heru kemudian sama-sama berdzikir dan bermunajat ke hadirat Allah SWT memohon perlindungan dari semua godaan setan yang ada di depan kami itu. Cukup lama dialog itu terjadi, sementara bau busuk dari pocong itu semakin membuat kami mual.

Dengan gencar kami terus berdzikir, sementara dalam bathin aku terus mengamalkan Qulhu Geni dari Guru beladiriku. Pocong itu nampak goyah, tubuhnya pelan-pelan menguap dan kemudian hilang ke arah timur gang rumah kami. Pelan-pelan suasana mencekam itu mencair, tinggal bau bunga kuburan dan bau bangkai yang masih menguar di sekitar kami. 

“Sudah Pak RT, semua sudah kembali normal,” kata pak Amir yang disusul oleh pak Heru dengan nada yang sama, namun mereka memintaku segera menemui ustad Sidiq tanpa harus menunggu pengajian di malam Jum’at. Aku menyanggupi, dan setelah mengucapkan terima kasih, aku kemudian mempersilakan mereka berdua untuk beristirahat. Kami lalu masuk ke rumah masing-masing.

Akupun segera mengambil air wudhu untuk mendirikan shalat hajat khusus dan shalat malam memohon perlindungan Allah SWT. Setelah itu baru tidur. Belum lama aku terlelap, aku sudah bermimpi didatangi pocong itu kembali, dengan ngotot mereka meminta kembali tanah kuburannya itu. Aku kembali mengelak dan bersikukuh tidak menyimpan barang itu dan tidak tahu barang itu ada dimana.

Pocong itu dengan beringas mendorongku, matanya yang hitam legam dengan nanar memandangi seluruh penjuru rumahku, hidungnya yang growong dan penuh belatung seperti mengendus-endus sesuatu, setelah itu terbang menuju tumpukan dos-dos yang ada di bawah tangga lantai atas. Tanpa menggerakkan tangannya sama sekali, dos-dos yang sangat berat itu seperti terhempas bergerak ke samping kanan dan kiri, akhirnya persis di pojokan gudang nampak bungkusan putih sebesar pisang ambon. Dengan gaya kinetis bungkusan itu terbang menuju kearah pocong itu.

Setelah mendapat bungkusan yang dicarinya itu, pocong itu hilang. Bersamaan dengan hilangnya pocong itu aku terbangun. Tubuhku basah kuyup oleh keringat dingin. 

“Mana… mana pocong itu? Kurang ajar,” kataku dengan nafas terengah-engah. 

“Pocong apa Mas…? Mana...? dimana?” kata isteriku dengan panik. 

Aku kemudian menghela nafas panjang, “Aku cuma mimpi kok Ma…” kataku menghibur dirinya. 

Takut suasana yang panas ini menjadi bertambah mencekam.

Setelah shalat Subuh, seperti biasanya aku lalu ikut bersih-bersih rumah. Cuma kali ini sasarannya di gudang dekat tangga. Mumpung anak isteriku masih belum bangun, aku mulai membongkar satu demi satu dos-dos yang ada di gudang itu. Semua kutata ulang, dan kubersihkan satu demi satu. Benar, persis di pojokan gudang kutemukan bungkusan yang sangat kecil, sebesar pisang emas yang terbungkus kain putih. 

“Ini… bungkusan ini yang membuat suasana rumahku jadi tidak betul,” kataku sambil memasukkan dalam katong celana. 

Pelan-pelan, dos-dos itu aku susun ulang, dan lantainya kubersihkan dari timbunan debu dan kotoran cicak maupun tikus. Setelah rapi, aku memutuskan segera mandi. Niatku pagi-pagi nanti sebelum berangkat ke kantor, aku mau ke rumah ustad Sidiq untuk menanyakan masalah bungkusan kain mori yang kutemukan di gudang, serta menceritakan kejadian malam tadi dan mimpi yang menuntunku menemukan bungkusan kain mori putih itu.

Tepat pukul 08.00 aku sudah berada di rumah ustad Sidiq. Nampaknya kyai kharismatik itu baru selesai shalat Dhuha, wajahnya yang teduh dengan senyumnya yang khas langsung menyapaku 

“Ada apa Mas Kaji Maktab?” katanya bercanda. Memang ustad Sidiq selalu menjulukiku Kaji Maktab, karena waktu musim haji lima tahun yang lalu, aku termasuk salah satu jemaahnya yang paling malas berkunjung ke Masjidil Haram, dan lebih suka shalat lima waktu di Maktab. Setelah basa-basi sebentar, aku kemudian menerangkan maksud dan tujuannya menemui beliau.

Mendengar ceritaku, ustad Sidiq cukup lama termenung. Matanya dengan seksama melihat bungkusan mori putih itu, setelah menghela nafas panjang, ustad Sidiq masuk ke ruang ibadahnya. Setelah keluar beliau membawa botol isi minyak wisik. 

“Begini Mas Kaji, ini cuma sarana saja, yang penting mulai nanti malam Mas Kaji harus mendirikan shalat hajat khusus, empat rakaat, dua rakaat salam. Masing-masing setelah fatihah baca surat ikhlas 7x, semua dijalani selama tujuh hari jangan sampai bolong, dan ini setiap bakda maghrib dipercikkan di tiap-tiap pojokan rumah.” katanya sambil menyerahkan botol itu, dan mengembalikan bungkusan kain mori putih itu kepadaku.

“Maaf Ustad, sebetulnya ada kejadian apa dengan rumah saya?” tanyaku ingin tahu. 

Ustad Sidiq menghela nafas panjang lagi, dengan nada dalam beliau berkata.

“Rumah sampean itu, dipasangi tanah kuburan yang terbungkus kain mori putih itu, kuburannya orang yang meninggal di hari Selasa Kliwon atau Jum’at Wage yang kebetulan meninggalnya karena dibunuh orang. Jadi bersamaan dengan khodamnya yang ingin membalas dendam, jadi siapa sih yang tidak jengkel bila rumahnya dirusak, didodos untuk diambil tanahnya. Khodam jenazah itu juga punya rasa jengkel dan sakit hati. Jadi tidak aneh bila suasana rumah Mas Kaji ini jadi gerah, penuh rasa tidak nyaman, iya... atau... ya” katanya melucu. 

“Lha terus tujuannya apa Pak Ustad?” tanyaku kembali

“Ya jelas to Mas Kaji, kalau Anda tidak kerasan… tentu Anda segera inngin pindah rumah, syukur-syukur rumah Anda nanti dijual dengan harga yang murah.” katanya dengan nada arif.

Aku jadi maklum. Setelah diwejang banyak-banyak, aku kemudian pamit. Ustad Sidiq mengantarkanku sampai di depan rumah. Malamnya aku mulai menjalankan semua amanahnya, ditambah dengan wiridan semampuku. Pelan tapi pasti kondisi rumahku mulai membaik. Suasana panas berangsur dingin. Penampakan pocong yang tiap hari muncul sudah tidak terdengar lagi gosipnya. Genap lima hari aku menjalani shalat malam seperti yang diwejangkan oleh ustad Sidiq, kejadian persis tempo hari terulang lagi, cuma kali ini pocong tersebut hanya bisa berada di luar pagar halaman, sepertinya setiap mau masuk dia terpental jauh, dan pada hari ke tujuh terdengar ledakan yang cukup keras, dan pocong tersebut seperti terbakar habis. Paginya aku mendengar kabar, bahwa bu Ida tetangga jauh yang tinggal di gang sebelah masuk rumah sakit karena tiba-tiba sakit keras.

Menurut keluarga besarnya, bu Ida sakit mendadak persis ketika terjadi ledakan dan pocong itu terbakar hebat. isteriku yang membezuknya bersama ibu-ibu PKK juga mengatakan kalau penyakit bu Ida belum bisa didiagnose oleh dokter. Belum sempat bu Ida diobati dengan baik, menyusul berita lain bahwa suami bu Ida, seorang makelar tanah dan rumah yang kekayaannya luar biasa di kompleks rumahku menyusul masuk rumah sakit. Kali ini menurut dokter karena serangan jantung. Keluarga bu Ida memang terkenal kaya raya, bahkan rumahnya hampir merata di setiap gang, di gangku saja ada tiga rumah yang statusnya menjadi hak milik putra-putrinya.

Tepat pukul 15.30 bakda shalat Ashar, pak Samsi seksi sosial mengetuk pagar rumahku,

“Inalillahi wa ina ilaihi rojiun…” seru pak Samsi.

“Siapa yang meninggal Pak?” seruku sambil memintanya masuk. 

“Mas pudji, putranya bu Ida yang kuliah di Jogja.” katanya.

“Jenazahnya akan tiba di kampung ini pukul 1 malam pak RT.” sambil menyodorkan blanko untuk mengurus surat kematian di kelurahan.

Malam itu kampungku jadi heboh, aku selaku ketua RT mewakili keluarga bu Ida untuk menerima tamu dan mengurusi semuanya, maklum ibu Ida dan suaminya masih dirawat di rumah sakit, sementara mbak Sari dan mbak Susi, putrinya, masih menunggu penerbangan terakhir dari Surabaya. Dari informasi yang saya peroleh, kematian anak bu Ida cukup mendadak.

Sore itu mereka masih guyonan dengan teman-temannya, malam tepat ketika aku mengakhiri shalat malamku yang terakhir dari yang diwejangkan ustad Sidiq, tiba-tiba dari kamarnya terdengar jeritan kesakitan yang luar biasa keras. Teman-temannya masih mengira Pudji guyonan dan menggoda teman-temannya. Jadi dibiarkan saja, baru setelah habis Dhuhur kamar Pudji tetap tertutup rapat, teman-temannya mulai merasakan ada hal yang tidak beres. Benar, ketika pintu didobrak ramai-ramai mereka semua terkejut dan menjerit setelah melihat mas Pudji sudah jadi mayat dengan kondisi yang mengerikan, matanya melotot, lidahnya terjulur sementara tubuhnya penuh dengan bekas cakaran.

Siangnya selepas jenazah dikuburkan, aku dihampiri ustad Sidiq dengan berbisik beliau berkata, “Gimana Mas Kaji, buntelan kain morinya mau diapakan.” 

“Terserah Ustad Sidiq saja,” jawabku takzim. 

Ustad Sidiq lalu memintaku datang ke masjid sehabis shalat Isya, dan meminta buntelan itu untuk dijaga dengan baik. Malamnya sehabis shalat Isya, ustad Sidiq mengumpulkan beberapa bapak-bapak yang merupakan jamaah tetap masjid di lingkunganku. Dengan mengucap basmallah ustad Sidiq lalu membuka bungkusan kain mori itu. Ternyata isinya memang tanah, lalu ustad Sidiq membawanya ke serambi masjid.

Dengan alas koran tanah tersebut beserta kain morinya lalu dibakar. Pelan tapi pasti api itu mulai membakar kertas koran tersebut, selanjutnya kain morinya ikut terbakar dan akhirnya tanah kuburan itupun tidak luput dari jamahan api. Kami semua kaget, karena ketika api itu menyentuh tanah kuburan itu, terdengar suara berdesis persis bubuk mercon yang terbakar, ngobros seperti bubuk mesiu, Makin lama makin besar apinya. Semua mundur sambil terus menyebut nama Allah SWT. Bersamaan dengan suara ngobros itu terdengar ledakan yang cukup keras dari rumah bu Ida yang jaraknya hanya 10 rumah dari masjid kami itu. 

“Astaghfirullahaladzim… Allahhu Akbar…!” teriak kami hampir berbarengan. 

Pagi-pagi buta, kembali rumahku diketuk pak Samsi, kali ini membawa berita yang cukup mengejutkan, suami bu Ida meninggal dunia 

“Inalillahi wa ina lillahi rojiun…”

Hanya itu yang terucap di bibirku. Aku tidak bisa menghubungkan rangkaian kejadian yang ada, karena semua menjadi rahasia Allah SWT.


Thursday, May 27, 2021

Wanita Penghuni Klub Malam

(Gambar Hanya Ilustrasi. Bukan Lokasi Sebenarnya)


Kisah ini aku alami sekitar satu tahun yang lalu. Ketika aku dan keempat temanku melakukan perjalanan dari Surabaya ke Wonosobo. Sampai di Magelang, kami memutuskan untuk singgah dan beristirahat di sebuah hotel untuk sekedar melepas lelah. 

Tak jauh dari hotel kami terdapat sebuah klub malam yang terlihat ramai pengunjung. Ferdy salah satu temanku yang penikmat klub malam mengajak kami untuk mengunjungi klub malam tersebut. 

Sekitar pukul 11 malam, kami pun bersiap-siap memasuki klub tersebut. Suasana klub begitu hingar bingar, aku, Ferdy, dan ketiga temanku yang lain pun larut dengan suasana klub itu. Secara tidak sadar Ferdy banyak mengkonsumsi minuman beralkohol, sehingga Ferdy hilang kontrol atau mabuk. 

Setelah lama berpesta, Ferdy merasa ingin pergi ke toilet. Ferdy pun keluar klub menuju toilet. Begitu selesai buang air, Ferdy berpapasan dengan seorang wanita cantik. Karena Ferdy sedang mabuk, Ferdy menarik wanita itu dan mengajaknya ngobrol sambil sesekali menciumi wanita itu. Sang wanita hanya diam saja sambil sesekali memandang Ferdy. Dan Ferdy pun semakin bernafsu dengan wanita itu. 

Di dalam klub, aku dan ketiga temanku yang lain mulai mencari Ferdy, akhirnya aku yang tidak dalam keadaan mabuk keluar mencari Ferdy. Begitu aku keluar, aku melihat Ferdy sedang mencumbu seorang wanita. Melihat aku berdiri di ujung lorong, Ferdy tetap saja mencumbu wanita itu. Ia tidak peduli, sedangkan aku masih berdiri memperhatikan Ferdy dari jauh.

Beberapa menit kemudian aku kembali masuk ke dalam klub, sedangkan Ferdy masih asik mecumbu wanita itu. Akhirnya setelah selesai melampiaskan nafsunya terhadap wanita itu, Ferdy pergi meninggalkan wanita itu dan masuk kembali ke dalam klub. Di dalam klub, aku dan ketiga temanku sedang berkumpul dengan wajah serius. Beberapa menit setelah itu, aku dan ketiga temanku menarik Ferdy dan pergi meninggalkan tempat itu. 

Di dalam hotel, Ferdy melihat aku dan ketiga temanku saling berdebat, dengan wajah yang penuh keringat dan badan kami berempat gemetaran. Sambil sesekali menoleh ke arah Ferdy, karena mabuk, Ferdy tidak menghiraukannya. 

Keesokan harinya, Ferdy terbangun. Ketika ia bangun, aku dan ketiga temanku sudah mengelilinginya. Setelah Ferdy sudah sadar 100%. Aku pun bercerita tentang kejadian semalam. Aku melihat Ferdy sedang mencumbui seorang wanita berbaju putih dan berambut panjang, wajah wanita itu rusak, dengan bola mata yang menggelantung di kelopak matanya. Dan wanita itu bertaring!

Aku melihat Ferdy menciumi bola mata wanita itu yang sudah keluar dari kelopaknya, Ferdy juga mejilati leher wanita itu yang sudah terburai dan dipenuhi belatung. Tidak hanya itu, aku juga melihat ada sosok anak kecil dengan kepala yang sudah bolong, sedang menjilati leher dan kuping Ferdy dengan lidahnya yang menjulur panjang. Saat itu aku, yang melihat kejadian itu merasa shock dan hampir pingsan. Sesungguhnya aku ingin menarik Ferdy dari wanita itu, tetapi urung dilakukan karena sang wanita memelototiku dengan tajam.

Mendengar ceritaku itu Ferdy hanya bisa membeku, keringat mengucur deras dari wajahnya. Ternyata yang ia cumbu adalah mahluk halus yang menyeramkan. Di leher Ferdy juga terdapat tanda merah seperti habis dijilat dengan kuat. Setelah mendengar cerita itu Ferdy muntah darah, dan sakit selama 1 minggu. Beruntung bagi Ferdy ia tidak mengalami apa-apa lagi setelah itu, tetapi hingga saat ini trauma yang ia alami belum hilang. Ia tidak lagi berani mengunjungi klub malam.


Wednesday, May 26, 2021

Hantu Sungai Ciliwung

(Sungai Ciliwung)


“Tolong..”

Sontak, mata Rina terbuka. Suara tangisan minta tolong itu terdengar lagi! Rina membalikkan tubuhnya berusaha mengacuhkan suara itu. Gerakannya itu membuat tidur adiknya jadi resah. 

“Sst... jangan berisik, Rina,” ucap ibu yang tidur di samping adik.

Mereka semua memang tidur berdempetan di atas kasur tipis. Mau bagaimana lagi, masih bagus ada atap yang menaungi mereka tidur. Rina hanya mengangguk pelan, tetapi tetap terdengar olehnya suara tangisan minta tolong di antara kecipak air sungai Ciliwung. 

Suara minta tolong itu hanya didengar olehnya. Keluarganya hanya menganggap ia salah dengar. Sedangkan teman-temannya malah menakut-nakuti. Mereka bilang itu tangisan hantu Sungai Ciliwung yang dibunuh dan jenazahnya dibuang ke sungai itu bertahun-tahun lalu. 

“Aduh, jangan suka ingat cerita yang macam-macam, ah! Hantu itu tidak ada!” hardik Rina pada dirinya sendiri. 

Namun, tetap saja ia merinding saat tangisan minta tolong sekali lagi terdengar, membelah malam sunyi dan gelap pekat tanpa lampu. 

Rina jadi kesal sendiri karena ia ketakutan dan tidak bisa tidur. Ia memutuskan untuk keluar dan membuktikan sendiri bahwa sama sekali tidak ada apa-apa di luar. 

Setelahnya, dia pasti akan tidur tenang. Maka, Rina pun memberanikan diri keluar diam-diam. Namun, apa yang Rina lihat? 

Peri kecil! Yup, peri kecil yang terjepit di antara tumpukan sampah sungai Ciliwung. Ia senang sekali melihat Rina. 

Tanpa buang waktu, Rina langsung menolong peri itu membebaskan diri.

“Terima kasih. Sudah lama sekali aku terjepit di sana,” kata peri itu. Kulitnya tampak kotor berlendir di bawah sinar bulan. 

“Huhuhuhuh... padahal dulu sungai ini cantik sekali, tapi sekarang, duh, susah sekali kalau mau ke sini, malah tersangkut sampah,” omel muram peri kecil. 

Nama peri itu Amora. Ia peri kecil penghibur hati. Tugasnya menghibur hati penduduk yang tinggal di tepi Sungai Ciliwung. Tadinya banyak sekali peri penghibur hati yang bertugas di Sungai Ciliwung. Namun, karena sampah-sampah semakin menggunung, semakin susahlah bagi para peri itu untuk berdayung menyusuri Ciliwung dengan perahu kecil mereka. Akibatnya, semakin sedikit peri yang datang untuk menghibur. Bisa ditebak, semakin sedikit penduduk yang tersenyum di tepi Sungai Ciliwung. 

Rina memang ingat, ibunya pernah bercerita dulu, penduduk di tepi Sungai Ciliwung selalu tertawa ceria. Seperti ada kekuatan hangat yang menyelimuti hati mereka. Namun, sekarang kehidupan terasa semakin keras dan semakin sedikit suara tawa yang terdengar di daerah sekitar rumahnya. 

Amora mengusap dahi. Perjalanan panjang itu menguras tenaganya. Ia hanya bisa memberi senyuman dan kegembiraan kepada Rina. Dengan seulas senyuman bersinar di pipinya, Amora pergi meninggalkan Ciliwung. 

Malam itu, Rina bekerja keras membersihkan sampah-sampah di sungai. Jelas, mustahil bagi seorang gadis kecil untuk melakukan itu semua sendirian. Soalnya, sampah di Ciliwung itu betul-betul banyak. Namun, Rina tetap bertekad untuk menjaga terus senyuman dari Amora. 

Dua puluh tahun kemudian. Ciliwung kembali bersih. Dan peri-peri penghibur hati pun kembali berdayung dengan riang ke sana, menyebar kebahagiaan. Tahukah kamu rahasianya? Ya, Rina belajar dengan rajin sampai berhasil menjadi anggota Dewan Kota yang menjalankan rencana pembersihan untuk Ciliwung. 

Rina menatap sungai bersih di depannya dengan gembira. Dalam hati, dia tahu tidak ada yang namanya peri penghibur hati. Namun, tempat yang bersih dan indah, tentu membawa kesehatan dan kebahagiaan bagi orang-orang yang tinggal di situ. 


Hantu Penghuni Gunung Sumbing

(Gunung Sumbing)


Kejadian tak terlupakan ini aku alami ketika aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, yaitu sekitar 5 tahun yang lalu. Pengalaman pertamaku mengenal yang namanya hantu ini aku alami ketika aku sedang melakukan pendakian bersama team Pecinta Alam di sekolahku.

Tepatnya di tahun 2009, aku bersama team Pecinta Alam sekolahku melakukan pendakian ke gunung Sumbing, Wonosobo, Jawa Tengah. Kami melakukan pendakian di bulan Desember bertepatan dengan musim penghujan.

Pendakian di mulai dari dukuh Kalikajar Garung dan mengambil rute jalur baru. Karena memang dari pos ini terdapat dua jalur pendakian yakni jalur lama yang agak landai medannya, dan jalur baru yang terjal dan curam jalannya. Kami berempat ditambah temanku dari anggota SAR-nya Sumbing, mulai mendaki setelah shalat Isya.

Sebenarnya kami tak mendapat izin dari team SAR karena cuaca buruk yakni hujan dan turun kabut. Tapi karena kami tak mau buang-buang waktu dan biaya, kami abaikan saja himbauan dari team SAR tersebut. Setelah bernegosiasi dan kami pun diizinkan naik tapi dengan syarat harus ditemani warga setempat.

Kebetulan salah satu anggota dari kami sudah ada yang kenal dengan beberapa personil tim SAR tersebut. Dan kami memilih ditemani personil tim SAR tersebut. Dengan iringan doa restu juru kunci dan teman-teman semua, kami berlima akhirnya bergerak menembus tebal dan gelapnya kabut.

Awalnya kami berlima enjoy-enjoy saja sewaktu melintasi ladang tembakau petani di bawah pos pasar setan, kami selalu bersama. Karena pengaruh suhu di gunung yang sangat dingin, aku pamit untuk kencing dahulu, dan teman-teman aku persilahkan jalan duluan, nanti aku nyusul di belakang.

Dengan sedikit terburu-buru aku lari ke semak-semak untuk menyelesaikan hajat. Begitu selesai kencing, aku lihat empat temanku masih menungguku, tadinya aku kira mereka sudah jalan duluan. Setia juga mereka, begitu pikirku. Akhirnya aku gabung lagi dengan teman-temanku untuk melanjutkan pendakian.

Sembari ngos-ngosan kami terus ngobrol ngalor ngidul, bersenda gurau sambil sekali-kali berhenti untuk minum. Hingga tak terasa perjalananku sudah sampai di padang rumput yang datar, posisi di bawah pos pasar setan. Teman-temanku minta waktu untuk istirahat sejenak sekedar untuk merokok dan makan cemilan. Akhirnya kita bongkar ransel logistik, kitapun makan snack dan minum minuman suplemen. Akupun menyulut rokok kretek sekedar untuk penghangat badan.

Belum habis rokokku sebatang, aku mendengar suara teriakan orang-orang memanggil-manggil namaku. Semakin lama semakin keras dan jelas suara teriakan-teriakan itu. Aku kaget campur heran, karena aku mengenali suara-suara yang memangil dan menyebut namaku. Suara temanku satu tim dan teman dari tim SAR.

Kalang kabut pikiranku waktu itu. 

“Bukannya mereka sedang bersamaku sekarang? Kenapa suara mereka kedengaran sangat jauh…?” pikirku.

Keherananku jadi lebih tak karu-karuan ketika aku menengok ke belakang ke tempat empat temanku istirahat.

“Ya Allah…! KOSONG..!” teriakku.

Tak ada siapapun kecuali aku berdiri sendirian. Spontan berdiri semua bulu kudukku, hilang pikiran sehatku, rontok semua keberanianku. Dalam balutan ketakutan dan rasa masih tak percaya dengan yang kuhadapi, pelan-pelan aku tinggalkan tempat sialan ini. Aku naik menyusul suara teman-temanku yang memanggilku dari atas.

Begitu sudah agak jauh dari tempat kejadian, aku ambil ajian langkah seribu, lari tunggang langgang. Tak perduli gelap, banyak akar maupun batu dan jurang yang menganga di sepanjang jalan. Aku terus berlari jatuh bangun mendekati suara teriakan teman-temanku yang kedengarannya sudah ada di atasku.

Dengan tergopoh-gopoh dan mandi keringat -padahal suhu sangat dingin- aku temukan teman-temanku yang sudah menunggu. Kecemasan sangat jelas terlihat di raut wajah teman-temanku. Mereka mengira aku tersesat karena tak tahu jalan. Dan aku mengiyakan saja. Aku tidak mau mereka ikut-ikutan takut, apalagi sampai pendakian gagal. Dan malam itu kami buka tenda dan bermalam di pos Pasar setan.

Wednesday, May 19, 2021

Rumah Tua di Tepi Jalan

(Gambar Hanya Sekedar Ilustrasi, Bukan Tempat Kejadian Sebenarnya)


Malam itu, bukan main gelapnya sampai jalanan tidak begitu jelas terlihat, ditambah hujan turun dengan lebatnya sejak petang tadi. Hawa dingin pun terasa hingga sampai ke tulang. Aku berjalan perlahan menoleh ke kiri dan kanan untuk mencari tempat berteduh. Jalanan gelap tidak ada penerangan sama sekali karena sejak tadi listrik padam. Dalam kegelapan dan hujan yang begitu deras, membuat jalanku tertatih dan terkadang hampir jatuh tersungkur. 

Aku hanya bergantung pada kilat yang datang. Setiap kilat memancar, mataku melihat ke kiri dan ke kanan mencari tempat berteduh. Tapi belum juga terlihat olehku tempat berteduh yang aman. Di kanan kiri hanya terdapat pohon-pohon besar saja. Aku tidak berani berteduh di bawah pohon karena aku teringat akan nasihat orang-orang tua bahwa petir suka menyambar pohon. Ketika kilat memancar sekali lagi, terlihat olehku sebuah rumah di antara pohon-pohon besar itu. Dan terdapat jalan setapak ke arah rumah tersebut. Pelan-pelan aku berjalan menuju rumah tersebut. 

“Semoga aku dapat berteduh di rumah itu sementara. Syukur kalau tuan rumahnya orang baik dan bersedia mempekerjakanku dan tinggal di rumah itu” kataku dalam hati.

“Setidaknya aku bisa menjadi tukang belah kayu atau membantu mengangkat air. Semoga tuan rumahnya mempunyai belas kasih kepada pengemis sepertiku ini” pikirku.

Akhirnya sampai juga aku di rumah itu. Rumah itu terlihat gelap gulita. Satu cahaya api pun tidak nampak dari luar. Mungkin penghuninya sedang tidur terlelap. Aku terus menuju ke pintu depan yang tertutup rapat. Awalnya aku ingin mengetuk pintu, tapi aku urungkan niatku karena aku berpikir mungkin penghuninya sedang tidur nyenyak dan aku tidak ingin mengganggunya. Namun karena di luar terasa sangat dingin dan bajuku pun sudah basah kuyub. Aku pun tidak kuat lagi menahan rasa dingin ini. Akhirnya aku beranikan diri untuk mengetuk pintu. Belum sempat aku mengangkat tangan untuk mengetuk pintu itu, tiba-tiba satu tiupan angin dari belakangku telah membuka pintu itu dengan sendirinya. 

“Ngeeekk,” bunyi pintu itu terbuka dengan perlahan.

Aku menengok ke dalam rumah, tapi tak terlihat apa pun di dalam rumah itu. Setelah aku menunggu agak lama, akhirnya aku pun menyadari kalau rumah itu kosong entah tidak berpenghuni atau penghuninya sedang keluar. Kulihat atapnya pun sudah ada yang bocor. Sehingga ada sebagian air hujan yang masuk ke dalam rumah.  Di bagian belakang ruang tamu terlihat ada sebuah kamar. Aku masuk dan berjalan menuju ke kamar itu. Betul, disitu memang terdapat sebuah kamar yang masih lumayan bagus. Cuma bocor sedikit saja.

Aku kembali ke ruang tamu dan menutup pintu depan kemudian kembali masuk kamar dan menutup pintunya. Aku mulai membuka bajuku yang basah kuyup karena kehujanan. Kemudian aku merogoh saku celanaku untuk mengambil korek api yang aku temukan di jalanan. Kemudian aku keluar kamar dan mencari dapur untuk mencari kayu atau sesuatu yang dapat digunakan untuk membuat api agar aku dapat menghangatkan tubuh dan pakaianku. 

Akhirnya aku menemukan beberapa batang kayu di dapur. Dan aku pun mulai membakar kayu itu untuk mengeringkan bajuku dan juga menghangatkan tubuhku. Dengan cahaya api inilah aku bisa melihat dengan jelas isi rumah itu. Dindingnya semua sudah buruk, tingkapnya ada yang sudah tidak tertutup lagi. Hanya kamar yang aku masuki tadi adalah kamar yang lumayan sedikit baik daripada kamar lainnya. Aku pun memutuskan akan menjadikan rumah itu tempat perlindunganku yang tetap waktu malam hari setelah meminta sedekah, kerana lebih baik tinggal di situ daripada tidur di kaki lima setiap malam. 

Rasa kantuk pun akhirnya menghinggapiku dan aku pun pergi berbaring di kamar yang kering tadi dan memejamkan mata. Baru saja aku memejamkan mata, tiba-tiba aku men dengar bunyi pintu kamar tamu seperti dibuka orang. Belum sempat aku bangun hendak melihat apakah gerangannya yang membuka pintu itu tiba-tiba aku mendengar bunyi tapak kaki orang masuk. Aku pun mendiamkan diri dalam kamar itu.

Orang itu berjalan di depan kamar dimana aku sembunyi dan menuju api yang aku hidupkan di dapur. Aku bangun dan mengendap-mengendap.

“Barangkali inilah tuan rumah ini,” pikirku.

Alangkah marah dan terkejut bila dia melihat aku berani masuk ke dalam rumahnya. Ah, mungkin juga dia seorang peminta sedekah seperti aku. Karena pakaiannya pun koyak robek seperti yang aku pakai. Orang itu tinggi dan kurus. Mukanya cekung seolah-olah baru sembuh dari sakit. Dia duduk mencangkung di hadapan dapur dan menggerak-gerakkan kedua-dua tangannya dekat api. Matanya lekat memandang api itu seolah-olah ada benda yang aneh dilihatnya. 

Dia tidak menoleh ke kiri atau ke kanan dan sekali-kali tidak menghiraukan pakaianku yang tergantung dekat api itu. Hatiku tak enak membiarkan dia di situ seorang diri. Dengan fikiran yang serba salah akhirnya aku keluar perlahan-lahan dari kamar itu dan terus berkata, 

“Maafkan saya, Tuan, saya hendak mengambil pakaian saya!”

Dia menoleh dan tidak berkata sepatah pun melainkan hanya mengangguk dan mempersilakanku mengambil pakaian itu. Aku pun mengambil pakaianku yang masih setengah kering dan memakainya. Dia memandang ke arah api yang mulai redup. Kemudian aku mengambil lima batang kayu lagi dan menambahkan ke bara api tadi agar menyala lagi lebih terang. Lalu Aku duduk di sampingnya dan dia pun masih duduk terdiam tidak berkata sepatah pun. Aku melihat dia yang tampak masih basah kuyup daripada aku. Air yang turun dari badannya tidak berhenti mencucuri ke lantai.

“Lebat sekali hujan malam ini!” kataku memulai percakapan.

“Ya,” jawabnya. Suaranya parau seperti satu suara yang keluar dari dalam gaung.

“Bapak dari mana?” tanyaku lagi.

Dia menoleh ke arah ku dan sambil tersenyum berkata,

“Saya kehujanan seperti Anda juga dan datang berlindung di sini!”

“Baguslah!” kataku. “Jadi saya ada kawan!” lanjutku.

Sedikit demi sedikit mulailah orang itu mau diajak ngobrol. Hilang rasa mengantukku. Kami mengobrol tentang bermacam-macam hal hingga akhirnya mengenai rumah tempat kami berteduh itu.

“Anda tahu kalau rumah ini berhantu?” katanya.

Aku hanya menggelengkan kepala saja sambil memandang keliling rumah itu.

“Tuan rumah ini dulu seorang kuli kebun getah. Orangnya baik dan sangat disayangi oleh managernya. Dan tidak lama kemudian dia dilantik menjadi mandor menjaga kuli-kuli yang bekerja.

“Karena rajin dan tekunnya, maka manager itu melantik dia menjadi pengurus penjual getah di bandar. Pekerjaan ini menyebabkan dia selalu tidak ada di rumah...” kata orang itu.

“Dia mempunyai seorang isteri dan mempunyai dua anak yang sudah beranjak remaja. Rupanya ketika dia tidak ada di rumah, isterinya selingkuh dengan manager kebun getah itu. Mula-mula dia tidak tahu, tetapi pada suatu hari, ketika dia balik ke rumah didapatinya manager dan isterinya sedang berbaring berdua di atas tempat tidur. Dia pun segera mencabut parang terus membunuh kedua-duanya,” lanjutnya sambil menunjuk sebuah foto di dinding sambil berkata kembali, “Dialah yang telah menghabisi istri dan selingkuhannya sekaligus, dan kemudian dia lalu bunuh diri dengan parang yang sama.”

Spontan aku melihat foto yang terlihat samar-samar di dinding itu... meskipun foto itu sudah begitu kotor dan agak kabur tapi aku dapat dengan jelas melihat gambar foto itu. Dan ternyata... foto itu adalah fotonya. Seketika itu pula aku jatuh pingsan di sampingnya.


Wednesday, April 7, 2021

Orang Asing Di Garasi Rumah


Gambar Hanya Sebagai Ilustrasi, Bukan tempat kejadian Sebenarnya.


Malam itu aku pulang ke rumah, dan sampai di rumah sekitar pukul 10:15 malam. Setelah menaruh sepeda motorku di dalam garasi dan tidak lupa untuk menguncinya, aku segera masuk ke kamarku. Kali ini orang tuaku tidak marah padaku karena aku sedang mengerjakan tugas kelompok di rumah temanku, ada beberapa tugas sekolah yang belum terselesaikan dan guru meminta untuk dikumpulkan tugas itu esok hari. Sungguh hari yang sangat membosankan karena kali ini tugasku sangat banyak. Sesampai di rumah, suasana rumah sudah dalam keadaan gelap, semua lampu ruangan sudah dimatikan begitu juga dengan orang tuaku, kakak dan adikku sudah tertidur pulas di kamar mereka masing-masing dan aku juga merasakan letih yang begitu berat. Saat tiba di kamarku, aku langsung mematikan lampu kamar dan menuju tempat tidur untuk memeluk erat gulingku kemudian aku langsung tertidur pulas.

Saat itu entah mengapa aku mengalami mimpi buruk dan terbangun tepat di pukul 02:10 pagi. Ketika itu aku sangat terkejut dengan apa yang kuimpikan dan aku juga tidak bisa menjelaskanya. Kulihat jam di samping tempat tidurku menunjukan pukul 2:10 pagi. Ini masih terlalu malam untuk bangun tidur, saat itu aku sungguh merasa sangat kesal dan aku tidak bisa melanjutkan tidur, setiap kali aku menutup kedua mata ini tetap saja selalu terbuka. Aku sangat beruntung karena jadwal sekolah esok hari aku masuk siang. Tak lama kemudian aku ingin buang air kecil dan menuju ke toilet, jika malam hari lampu di setiap ruangan di rumahku selalu dimatikan kecuali dapur dan kamar mandi karena kedua ruangan tersebut tidak boleh dimatikan sampai pagi. Setelah selesai buang air aku langsung menuju kamarku dan duduk di atas tempat tidur. 

Berpikir apa yang akan aku lakukan malam ini, terpikir untuk menonton tv, memainkan game di komputer atau mendengarkan musik itu semua hanya membuatku bosan. Di tengah kebingungan aku membuka setengah tirai jendela di kamarku untuk melihat situasi lingkungan di rumahku. Tiba-tiba apa yang aku tangkap dari pandanganku? Ada sesosok bayangan gelap berdiri tepat di samping mobil di garasi, entah apakah itu? Bayangan gelap itu menyerupai figur seorang pria. Karena aku mengira itu adalah pencuri oleh sebab itu aku sangat penasaran dan menangkapnya, sepertinya dia sedang mengintai mobil pribadi Ayahku, saat itu aku langsung berlari menuju ke kamar adikku, karena kamar adikku hampir dekat dengan bagasi mobil dan kamar adikku juga dalam keadaan gelap, aku sengaja tidak menyalakan lampu kamar agar pencuri itu tak tahu keberadaanku. Saat itu aku membuka tirai jendela kamar adikku perlahan-lahan dan mulai mengintip, siapakah sesosok bayangan itu?

Ternyata apa yang kulihat, itu adalah seorang pria. Pria itu memiliki tinggi sekitar 175 cm, berambut hitam, berkulit putih, dan mengenakan pakaian serba hitam. Aku juga sangat kurang jelas melihatnya karena lampu di area garasi juga dimatikan. Wajahnya pun sangat samar dan terlihat hanyalah mulutnya, tetapi aku melihatnya dengan jelas. Sungguh hebat, aku kagumpadanya, kenapa aku kagum padanya? Karena pintu garasi sudah terkunci sangat kuat sebelumnya olehku, dan dia sangat hebat bisa membukanya dari dalam, sungguh di luar dugaan. Setelah itu, aku terus memperhatikan gerak-gerik dari pria itu tetapi aku tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan darinya, dia hanya diam berdiri mematung tepat di samping mobil ayahku. Aku mulai merasakan hal yang aneh pada pria itu, kenapa dia hanya berdiam diri saja? Saat itu aku berpikir, seorang pencuri pasti sangatlah lihai dan licik, dia pasti menggunakan sebuah trik agar kita mudah dikelabui olehnya, tetapi aku merasa sangat aman pada pria itu karena dia tidak membawa perlengkapan apapun, aku bisa melihatnya di kedua tanganya.

Beberapa menit kemudian, aku sangat merasakan keanehan yang sangat luar biasa, karena selama beberapa menit yang dilakukan pria itu hanyalah berdiri tanpa bergerak sama sekali, sungguh aneh bukan? Kedua kakiku mulai lemas dan aku mulai merasa takut padanya. Saat itu pria itu menoleh tepat ke kamar adiku, tiba-tiba saja dengan reflek aku langsung menutup tirai jendela kamar. Gosh! Saat itu aku sangat terkejut dan kaget, kemudian keringat dingin mulai bercucuran di punggungku. Aku sangat merasa takut, apakah dia seorang pencuri atau seorang pembunuh? Saat itu pikiranku sangat kacau, aku hanya melihat adikku yang sedang berbaring tidur dan menikmati larutnya malam, dan di sini aku sedang merasakan jantungku yang berdebar-debar dan hampir putus. 

Saat itu aku mulai merasa panik yang luar biasa dan ingin membangunkan kedua orang tuaku, tetapi sebelumnya aku ingin melihat sekali lagi dari pria misterius itu, aku mulai membuka tirai dengan perlahan dan mengintip dari celah tirai, ternyata pria itu masih tetap berdiri mematung di samping mobil ayahku, apa sih yang ia lakukan di sana? Dan kalau memang dia seorang pencuri kenapa tidak langsung saja mencungkil pintu mobil, dan kenapa dia hanya berdiri dan mematung? Kemudian, tiba-tiba saja pria itu membalikkan tubuhnya dan pergi menuju pintu garasi, saat itu aku berpikir dan bernapas lega, akhirnya pria itu pergi menjauh dari rumahku. Tetapi ada yang aneh dari cara berjalan pria itu, dia berjalan terlihat mengambang, mungkin ini adalah efek dari mata mengantuk pikirku, kemudian aku mengusap kedua mataku berulang-ulang dan memandang pria itu berjalan, tetap saja pria itu berjalan dengan cara yang sangat aneh. Saat itu aku memperhatikan kedua kakinya, dan kali ini pria itu tidak memiliki kaki dan dia memang berjalan dengan mengambang. 

Oh tidak! Ternyata pria itu adalah hantu! Saat itu aku mulai panik dan penuh dengan keringat, pandanganku tetap tertuju ke pria itu, saat dia berjalan tiba-tiba saja dia menoleh menuju kamar adiku dan tepat memandangku. Wajahnya sangat pucat dan tanpa ekspresi matanya tertutup oleh rambut dan kemudian kedua kakiku merasa sangat lemas dan sangat sulit untuk digerakkan. Kemudian pria itu keluar dari bagasi dan kali ini aku sangat terkejut sekali apa yang aku lihat, aku melihat pria itu berjalan ke atas menuju ke langit dan lenyap di gelapnya malam.

Friday, March 26, 2021

18 Tempat Angker dan Horror yang Ada di Surabaya



Foto "Rumah Hantu Darmo"yang terkenal seram di Surabaya


Surabaya adalah salah satu kota bersejarah di Indonesia. Memiliki sejarah tak luput juga dari cerita-cerita rakyat setempat yang mengkeramatkan suatu lokasi yang mempunyai nilai mistik. Daripada hanya membahas bualan yang tidak ada artinya, mari kita cek tempat-tempat yang angker di kota surabaya ini.

Entah percaya atau tidak, cerita-cerita angker yang erat hubungannya dengan sosok hantu memang sudah seperti jadi budaya di Indonesia. Bahkan di setiap kota selalu memiliki cerita masyarakat sendiri yang sudah ada dari turun-temurun.

Mana saja tempat paling angker di Surabaya? Berikut ini kami uraikan tempat-tempat angker di Surabaya.

1. Rumah Hantu Darmo

Rumah hantu Darmo menjadi peringkat nomor 1. Rumah ini sudah ditinggalkan penghuninya lebih dari 10 tahun. Kabarnya mereka dibunuh oleh jin, yang terikat dalam satu perjanjian pesugihan. Tak sedikit warga sekitar yang mengaku mengalami kejadian-kejadian ganjil disana. 

Versi yang lain mengatakan ketika terjadi pembunuhan satu keluarga pada tahun 80 -an yang terdiri dari ayah, ibu, dan 3 orang anak, rumah ini sontak menguras perhatian publik karena banyaknya kejadian-kejadian ganjil pada rumah tersebut yang tidak tapat diterima akal sehat. Mulai dari seseorang yang menangis di malam hari, penampakan yang menjelma jadi seorang wanita cantik yang menggoda pengguna jalan, tumbuhnya pohon raksasa di depan rumah yang tidak dapat ditebang sampai akhirnya rumah ini tidak lagi menarik minat para pembeli lagi dan ditinggalkan begitu saja. 

2. Pantai Kenjeran

Tidak banyak tulisan yang mengabarkan kalau tempat ini angker. Padahal dulu dari sinilah sumber kekuatan terbesarnya Surabaya. Konon ada kerajaan ular di daerah sini. Pantai lama, pantai baru, serta di tikungan dari pantai lama menuju arah Nambangan, disinilah yang selalu memakan korban. Percaya atau tidak setiap tahun selalu ada saja orang tewas di 3 tempat tadi.

3. Delta Plaza

Delta Plaza yang megah ini ternyata didirikan di atas bekas Rumah Sakit UGD. Awal dari cerita suster gepeng juga berasal dari sini. Lokasi dimana sering munculnya penampakan wanita berbaju putih ialah di pepohonan dekat antara WTC dan Plaza-nya.

4. Kampus ITS

Menurut cerita, ada kuntilanak di jalan kembar di depan ITS. Ketika malam lewat jam 21.00, si kuntilanak suka menggoda para pengendara yang lewat di sana. Tapi sekarang jalan itu sudah diterangi banyak lampu dan jalannya sudah diperbaiki, jadi tidak bergelombang lagi. Tempat lainnya yang dikabarkan berhantu di sekitar situ adalah perpustakaan ITS, Teknik Sipil. Dikabarkan pernah ada mahasiswa gantung diri di tangga gedung).

5. Royal Plaza

Kabarnya pembangunan tempat ini banyak memakan korban. Ada yang jatuh dari lantai atas dan ada juga yang meninggal karena tertimpa alat berat. Pernah juga ada isu tentang terekamnya gambar pocong di Royal Plaza.

6. Universitas Airlangga

Selain dikenal sebagai kampus yang bergengsi, Universitas Airlangga juga dianggap sebagai lokasi yang angker terutama beberapa gedungnya. Universitas yang sudah ada sejak tahun 1847 ini dulunya merupakan sekolah untuk mendidik pemuda-pemuda Jawa yang berbakat di bidang kesehatan.

Karena beberapa gedungnya merupakan gedung kuno yang sudah ada sejak jaman dahulu, maka banyak sekali kisah-kisah horror yang terjadi di Universitas Airlangga, diantaranya adalah:

  • Naga di gedung Fakultas Kedokteran. Konon katanya   gedung ini dikelilingi oleh seekor naga besar yang hanya bisa dilihat oleh orang yang memiliki indra keenam. Seorang satpam di gedung FK mengatakan kalau naga itu adalah makhluk paling kuat di gedung FK. Kabarnya kalau kita berada di gedung FK pada malam hari maka kadang akan terdengar suara geraman keras yang dipercaya merupakan hembusan sang naga.
  • Genderuwo di pohon beringin dekat ruang DR-1 di gedung FK. Masih berada di Fakultas Kedokteran, salah satu tempat yang angker disana adalah ruang DR-1 dimana di bagian depan ruang itu ada beberapa pohon beringin yang besar dengan sulur-sulur yang panjang sehingga menciptakan suasana horror. Kabarnya banyak mahasiswa yang pernah melihat sosok makhluk bertubuh hitam besar (genderuwo) yang berada di pohon itu pada malam hari saat mereka lewat di daerah itu.
  • Pocong di ruang paduan suara. Menurut cerita, banyak mahasiswa yang sering melihat pocong di ruangan ini, yang letaknya masih dekat dengan gedung FK. Mahasiswa yang terpaksa datang ke kampus pada malam hari dihimbau untuk menjauhi ruangan ini.
  • Tangisan perempuan yang bunuh diri di parkiran. Ada yang mengatakan kalau kita memarkirkan kendaraan pada saat Maghrib atau malam hari dan mendengar suara tangisan perempuan maka tetaplah diam dan jangan menoleh untuk mencari sumber suara. Beberapa mahasiswa yang memilih menoleh mengatakan bahwa mereka melihat sosok yang mengerikan disana. Sosok itu adalah perempuan dengan pisau yang menancap di perutnya. Konon perempuan itu adalah orang yang dulu bertugas untuk menebang pohon di daerah itu namun kemudian bunuh diri disana.
  • Bunyi suara kaki diseret di dekat gedung Parasitologi. Pernah ada yang menguji nyali di area lantai tiga dekat gedung Parasitologi dan mengatakan kalau ia mendengar bunyi kaki diseret yang semakin lama semakin mendekat. Menurut cerita, suara itu berasal dari hantu seorang pekerja yang pernah mengalami kecelakaan kerja saat berada disana pada malam hari.
  • Lorong Fakultas Farmasi. Walaupun kita melewati lorong ini pada siang hari tetap saja kesan seram akan bisa dirasakan saat melewati lorong di Fakultas Farmasi ini. Menurut seorang pekerja, memang ada hantu usil yang berdiam di tempat itu. Banyak hal seram yang terjadi disana, mulai dari lampu yang tiba-tiba mati padahal keadaannya masih bagus, sampai ada juga yang terjatuh seperti ada yang menjegal kakinya.
  • Suara tangisan di Laboratorium Biotek. Laboratorium yang ada di lantai dua gedung Farmasi ini juga dikenal angker. Pernah ada tiga orang mahasiswi yang sedang mengerjakan tugas sampai malam di ruangan ini dan tiba-tiba mendengar suara tangisan dari pojok ruangan, namun begitu dilihat ternyata tidak ada siapapun disana.
  • Sumur mayat di gedung FK. Salah satu tempat paling angker di gedung FK adalah ruangan di departemen Anatomi dan Histologi. Kabarnya di dalam ruangan itu ada sebuah kolam formalin berisi mayat-mayat untuk keperluan praktek mahasiswa. Jika ada seseorang yang berjalan sendirian disana konon akan mengalami hal-hal menyeramkan.
7. Rumah Sakit Dr. Soetomo

Mungkin gara-gara banyaknya orang yang meninggal karena dirawat di rumah sakit inilah, konon banyak arwah yang bergentayangan dan perawat disini mengaku sering mendengar suara ringkikkan dan tangisan di dalam kamar mayat.

8. Rumah Sakit Darmo

Banyak pengakuan dari para perawat serta pegawai rumah sakit yang sering melihat kemunculan suster yang kakinya tidak menyentuh tanah, serta terdengarnya suara rintihan di waktu tengah malam.

9. Makam Pahlawan 

Makam ini sudah terlihat seram di pagi hari, apalagi kalau sudah malam. Salah satu yang membuat lokasi ini mengerikan adalah adanya makam di tugu Pahlawan. Salah satu gedung di sekitar tugu Pahlawan adalah gedung tua Bank Indonesia yang pernah terlihat ada sosok pendekar jaman dulu dengan pakaian khas Madura berkeliling kantor di malam hari. Dan ada juga kisah tukang bersih-bersih yang dikejar pocong. Masih berminat mau berkunjung disana saat malam hari?

10. SMA Komplek (SMA N 1, SMA N 2, SMA N 5, SMA N 9)

Bangunan lama, apalagi sejak jaman Belanda, sering digunakan sebagai tempat persemayaman makhluk ghaib dan disini adalah gudangnya setan. Berdasarkan cerita dari teman-teman yang sekolah disana, banyak hal-hal yang ganjil terjadi ketika sore menjelang malam. 

Hal seram yang terjadi antara lain; suara papan tulis yang digetok-getok, toilet yang keluar air sendiri, banyak terlihat tentara pelajar tanpa kepala berkeliaran, guru Belanda yang sedang dansa, hingga suara mesin ketik di tengah malam.

11. Gedung Grahadi

Masih merupakan peninggalan bangunan jaman Belanda, gedung Grahadi adalah rumah dinas Gubernur Jawa Timur. Sebagai bangunan lama, Grahadi dulu difungsikan sebagai peristirahatan pejabat Belanda. Semakin berjalannya waktu, kisah horror di Grahadi semakin muncul. Seperti seringkali terlihat ada sosok hantu Belanda berjalan di antara lorong. 

12. Balai Pemuda

Dulu pada jaman Belanda, Balai Pemuda adalah tempat hiburan no 1 di Surabaya. Para warga Belanda dulu suka berdansa dan minum-minum semalaman disana. Kalau sekarang sudah dipakai untuk acara pernikahan atau konser musik. Di samping gedung itu dulu ada pohon beringin yang sampai tahun 2004 masih diberi sesajen, namun untuk sekarang pohon itu sudah ditebang. Yang menyeramkan adalah beberapa orang pernah mendengar alunan musik jadul dari dalam gedung itu padahal sedang tak ada orang di dalam.

13. Kantor BPN Surabaya Jalan Tunjungan

Karena seramnya tempat tersebut sekarang kantor BPN pindah ke daerah Balongsari. Di surat berita Harian Jawa Pos disebutkan, alasan mereka pindah salah satunya adalah karena gangguan mahkluk astral disitu.

14. Balai Pemkot Surabaya

Tempat ini memang seram, banyak wartawan yang sering menjumpai sosok misterius yang tergesa-gesa setengah berlari di lorong-lorong Balai Kota ini.

15. Bekas Pabrik Padi Ketintang 

Sebuah pabrik tua di kawasan Ketintang dianggap sebagai tempat misterius. Lokasi yang dulu merupakan pabrik padi saat jaman Belanda itu rupanya dibeli oleh perusahaan swasta. Sampai saat ini di dalam gedung tua itu masih ada mesin-mesin namun kondisi gedung begitu gelap dan tanpa cahaya. Sosok seperti perempuan Belanda menjadi makhluk astral terkenal disana. Selain itu sosok nenek tua yang disebutkan terbunuh di jaman Belanda dengan cara dipenggal juga sering terlihat di pabrik tua Ketintang ini. 

16. Pintu Air Jagir 

Pintu air Jagir dibangun pada tahun 1917 dan berfungsi sebagai pengendali banjir, penyedia air baku dan menahan intrusi air laut. Menurut sejarahnya, pintu air Jagir ini pernah dijadikan tempat bersandarnya tentara Tar-tar yang akan menyerbu kediri pada tahun 1293. Pintu air ini pernah direnovasi tepatnya pada tahun 1978, tetapi tidak merubah bentuk dan gaya arsitektur Belanda.

Di balik kemegahan arsitekturnya, pintu air Jagir ini juga menyimpan cerita misteri yang masih terdengar hingga sekarang. Salah satunya cerita mengenai buaya putih yang kadang kala terlihat oleh masyarakat sekitar. Bahkan tim dari Mr. Tukul Jalan-jalan sempat mengulas cerita misteri mengenai pintu air Jagir ini dan banyak juga masyarakat sekitar yang menceritakan mengenai buaya putih tersebut. Pintu air Jagir ini sering kali meminta korban, bisa dibilang seringkali ada korban meninggal yang tenggelam di sungai dekat pintu air tersebut dan ada juga yang jasadnya tidak ditemukan hingga sekarang.

17. Rumah Hantu Kupang

Jika Anda melewati Jalan Diponegoro mau ke Pasar Kembang, ada rumah besar di kiri jalan itulah rumah hantu Kupang, tepatnya di Kampung Banyu Urip Wetan IA No. 107, Surabaya. Dahulu tempat tersebut dibuat tempat penyiksaan tentara Jepang. Salah satunya yang terkenal Cak Durasim juga meregang nyawa disitu.

Gedung tua ini terlihat menonjol dan berbeda dari bangunan lain di sekitarnya. Dari luar sudah terasa nuansa angker dan menyeramkan ketika melihat bangunan itu. Warga kota Surabaya sering menyebutnya dengan nama ‘rumah setan’ atau ‘gedung setan’. Sejak jaman kolonial Belanda, gedung itu memang sudah terkenal dengan sebutan ‘spookhuis’.

Asal muasal nama gedung setan memiliki beberapa versi. Versi yang tertulis di buku Oud Soerabaia (1931) karya von Faber yang dikutip Duncan Graham dalam artikelnya yang berjudul “Surabaya’s Ghost House” di Majalah Latitude (2010) menyebutkan bahwa setan di gedung ini adalah salah satu penghuni rumah yang membunuh anak hasil hubungan gelapnya. Selain itu ada pendapat lain bahwa hantunya adalah seorang budak kapal yang memiliki cap (cap kepemilikan budak) dan berpesan tidak mau dimandikan jenazahnya ketika mati. Versi terjemahan Belanda Kuno von Faber ini memiliki sedikit variasi disana sini.

Selain itu, ada kisah yang menyebutkan fungsi rumah setan dulunya sebagai tempat penyimpanan jenazah orang Tionghoa sebelum dimakamkan. Disitu jenazah disimpan, dimandikan dan diprosesikan menuju ke pemakaman yang berada persis di seberangnya (Pasar Kupang dan sekitarnya). Kisah ini dibuktikan dengan ukuran pintu gedung yang sangat tinggi agar prosesi pemakaman –yang biasanya diikuti bendera- bisa melewati pintu dengan bebas. Roh-roh jenazah orang Tionghoa inilah yang dipercaya menjadi setan dan menghuni gedung. Tapi ini tidak dibuktikan dengan catatan tertulis bahkan fungsi rumah jenazah itupun dipertanyakan kebenarannya.

Terlepas dari mitos cerita setan yang beredar, gedung setan ini awalnya dibangun untuk ditinggali oleh pemilik pertamanya yaitu J.A. Middelkoop. Middelkoop membeli area Kupang dari Daendels seharga 4.000 rijksdalders dan tahun 1809 mulai dibangun sebagai tempat tinggal. Setelah ia wafat, rumah berpindah tangan ke orang Tionghoa. Pada masa von Faber pemilik rumah itu adalah Dr. Teng Sioe Hie. Ada pendapat gedung setan diambil dari nama Tionghoa pemiliknya yang bermarga Tan (She Tan). Julukan rumah setan ini diduga sudah melekat di benak penduduk Surabaya sejak awal abad ke-20.
Namun jangan salah, meskipun terlihat angker gedung setan ini tetap berpenghuni. Saat ini ada sekitar 50 keluarga atau sekitar 200 jiwa yang menghuni bangunan ini. Mereka adalah sanak-kerabat turun temurun dari pemilik gedung spookhuis. Adapun hak milik atas gedung setan saat ini adalah pengusaha bernama Teng Kun Gwan atau dikenal dengan nama Gunawan Sasmito. Yang tak lain adalah keturunan ketujuh dari pemilik gedung.

Gedung yang memiliki luas sekitar 400 m² ini terdiri dari dua lantai. Pada bagian belakangnya terdapat bekas altar sembahyang bagi leluhur. Saat ini altar tersebut menjadi tempat parkir motor dan sepeda milik para penghuni gedung. Di bagian tengah terdapat sebuah ruangan yang cukup lapang dengan jendela-jendela yang lebar. Terdapat pula ruangan yang berfungsi sebagai Gereja Pantekosta, tempat beribadah bagi penghuni gedung dan warga sekitar yang beragama Kristen. Tampak pula gambar Yesus Kristus dan gambar-gambar lainnya menghiasi ruangan ini.

Di sekitar gedung setan (spookhuis) terdapat sebuah pasar tradisional yang dikenal dengan nama Pasar Gedung Setan. Yang menarik dan tampak berbeda dengan pasar-pasar tradisional lainnya, pedagang di pasar ini didominasi oleh orang-orang beretnis Tionghoa yang tak lain adalah penghuni gedung setan.
Jika Anda berminat mengunjungi gedung bersejarah dan penuh cerita misteri ini, aksesnya sangat mudah. Dengan kendaraan pribadi dari kota Surabaya, Anda tinggal mengarahkan kendaraan menuju kawasan Kupang. Letak gedung ini tepat di pinggir jalan raya. Dari jalan, bangunan gedung tua yang besar dan tampak mencolok ini akan langsung terlihat jelas.

ANGKOT SILUMAN

 

Gambar hanya sebagai ilustrasi, bukan gambar kejadian sebenarnya


Kulihat Ani masih berkutat dengan pekerjaannya, tumpukan file dan kertas kerja menumpuk di mejanya. Kasihan juga dia sebenarnya, tapi memang karakter dia seperti itu, suka menunda-nunda pekerjaan jadinya pas waktu tenggat hampir habis kelabakan lah dia. Tapi dia itu teman yang baik menurutku, selain selera humornya, dia itu bisa dipegang, maksudnya kalau kita mau curhat atau cerita yang agak pribadi dia pasti bisa menjaga, tidak bocor kemana-mana.

“Ani, wah mejamu ruarr biasaaa...” ledekku sambil duduk di depannya.

Ani cengar-cengir, “Bantuin dong... jangan cuma meledek!” pintanya dengan wajah memelas.

“Kamu sudah selesai kan? Takut nih sendirian di kantor.”

“Heeh... no lunch for free!” balasku.

“Huuu... ok deh, mau minta apa nih? Nganterin jalan-jalan… nganterin shopping… atau apa nih?” gantian Ani yang meledekku. Dia tahu aku ini jarang sekali beli barang yang tidak sesuai kebutuhan, bukan apa-apa memang kondisi keuanganku cekak aja.

“Nganterin window shopping aja lah, jangan sering-sering shopping… berat diongkos...!” sergahku kalem tapi sedikit menyindirnya.

“Bisa aja kamu, iyalah ntar tanggal muda kita jalan-jalan. Aku yang traktir makan minumnya!” jawab Ani.

“Nah itu baru ok!” kataku sambil menyorongkan dua jempol jariku ke arah dia. Kamipun tertawa bersama.

Sesasat kemudian kami tenggelam menyelesaikan tugas Ani. Tugasku sudah selesai sejak tadi tapi nggak sampai hati rasanya meninggalkan Ani sendiri di kantor. Dia itu teman baikku di kantor dan di kota ini. Ia masih tinggal dengan orang tuanya, sedangkan aku mesti kost. Makanya uang gaji dia utuh... hehehe... dia bisa kredit motor, belanja ini itu selepas terima gaji. 

Sedang aku? Sebelum terima uang saja daftar kebutuhan sudah nongol duluan, ada sih sisa sedikit tapi... huh aku jadi teringat bunda di kampung yang suka sms, yang isinya selalu sama... minta bantuan dana buat ini itu. Ah sudahlah... kok jadi ngelantur begini. Ntar nggak bisa konsentrasi malah makin lama menyelesaikan tugasnya.

Akhirnya selesai juga... setelah merapikan meja, kami berdua keluar ruangan menuju area parkir.

“Wah lembur ya, Mbak!” sapa pak Tito, satpam kantor kami.

“Yoi... tapi sudah selesai kok.” jawabku 

“Iya tinggal Pak Tito yang masih lembur… heheheh.” sambung Ani setengah bercanda.

Pak Tito hanya tersenyum mendengar celotehan Ani, dia sudah lama kerja di sini jadi dia sudah hafal dengan karakter orang-orang di kantor ini. Apalagi para pekerja di sini biasanya cukup lama bisa bertahan. 

Sesampai di ruang parkir hanya ada beberapa motor dan mobil yang tersisa, sebagian sudah pada pulang jadi area itu terasa cukup lengang. Paling itu motor dan mobil karyawan yang lembur seperti kami ini... heheheh.

“Masih jam tujuh malam... mampir mall yuk? Window shopping aja… kan tanggal tua!” ajak Ani.

“Mmmhmm...” Aku sebenarnya enggan untuk menanggapinya. Kalau sudah masuk toko, aku cuma bisa ngiler melihat barang-barang yang terpajang di situ. Nggak sanggup beli hanya bisa melihat-lihat saja.

“Ayolah, bentar aja. Nanti jam delapan tepat cabut deh!” rajuk dia.

“Terserah kamu ajalah!” jawabku pendek. Mau tak mau aku mesti ikut nih, namanya juga numpang membonceng motornya. Tapi Ani tahu diri juga kok, dia mengerti kalau gerbang kostku ditutup jam setengah sepuluh malam, maklum kost putri, jadi ada aturan aturan tak tertulis yang mesti diikuti. 

Sesampai di mall, Ani berubah acara, dia tidak jadi window shopping, tapi dia mengajakku makan minum di sebuah gerai makanan. Katanya lapar... padahal tadi jam lima sore sudah diberi nasi box oleh pihak kantor. Ooh... ternyata hanya ingin ngemil saja dia. Setelah memesan orange juice dan dua potong kue kami duduk di salah satu kursi di gerai itu.

“Wah aku nggak enak nih, selalu kamu traktir!” ucapku sesaat setelah duduk.

“Siapa juga yang bilang aku selalu traktir kamu? Sudahlah nggak usah dipikirin, santai aja.” jawab Ani ringan. Dia lalu menyeruput orange juicenya.

“Eh kayaknya, kamu dapat surat kan minggu kemaren? Dari siapa sih? Hari gini masih kirim kirim surat via pos? Pacar dari kampung ya?” gurau Ani.

“Ah bukan, dari bundaku dari kampung!” jawabku pendek. Malas rasanya membicarakan masalah keluarga sudah beberapa hari ini aku terima sms dari bunda tapi sengaja tidak aku balas. Eeh... sekarang malah kirim surat.

“Oops... sorry!” kata Ani, dia mengerti permasalahanku. 

Saat minum orange juice, pikiranku melayang, membandingkan hidupku dengan Ani memang berbeda, meski gaji yang kami terima sama tapi aku mesti rajin menyisihkan sebagian penghasilanku untuk membantu bunda di kampung. Sebenarnya aku ikhlas loh bisa membantu, apalagi ayah juga sudah berpulang semenjak aku masih balita. Aku tidak ingat sama sekali figure ayah, hanya lewat foto-foto saja aku mengenalnya, jadi aku memahami betul beratnya bunda menghidupi kami sekeluarga.

Dan sekarang setelah kami semua dewasa, ternyata beban hidup bunda juga terus berlanjut, bagaimana tidak? Anak-anaknya tidak ada yang dibilang sukses. Kakak lelaki tertua bernama Yudi, dia sudah menikah dan bekerja di Jakarta. Tapi sebagai pegawai rendahan di sebuah kantor tentu sudah berat untuk menghidupi keluarganya sendiri. Lalu kakak yang kedua bernama Wawan, dia juga sudah bekerja dan menikah. Setali tiga uang dengan kakak tertua, kak Wawan juga dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan. 

Sedang kakak ketigaku, kak Adi... wah payah dia. Belum menikah sih tapi dia tidak mau bekerja, jadilah bunda terbebani dengan kondisi ini. Sedang Doni, kakak keempat sudah berpulang ke padaNya sekitar dua tahun lalu karena sakit keras. Akhirnya aku jugalah yang jadi tumpuan bunda untuk sering-sering membantunya. Untuk Bunda aku tidak masalah, tapi untuk kak Adi? Dia kan lelaki dan sudah dewasa pula, mestinya harus bisa menghidupi diri sendiri. Masak selamanya mau begini terus?

“Hayooo... ngelamun ya? Jangan suka melamun ntar dimasukin...”

“Setan ya?” potongku.

“Bukan... tapi dimasukin lalat... hahahahah” jawab Ani sambil tertawa keras.

Aku ikutan tertawa. Lalu kami asyik mengobrol ringan ini itu sambil makan dan minum. Di saat kami asyik menghabiskan waktu tiba-tiba handphone Ani berbunyi.

“Hallo... Ma...!” sapa Ani begitu dia membuka handphone. 

Wah dari mamanya rupanya, biasa kalau Ani ditelpon keluarga kalau sampai malam belum pulang, dan Ani selalu bilang lembur... padahal sedang bersantai ria menghabiskan waktu. Namun tiba-tiba raut muka Ani berubah, wajahnya kelihatan tegang dan cemas. Telepon dari seberang seperti menjelaskan sesuatu yang tidak dia perkirakan sebelumnya.

“Iya... Ma... aku segera pulang!” Ani mematikan handphone, lalu menarik napas panjang.

“Ada apa, An? kayaknya berita berat!” seruku ikut ikutan cemas.

Ani terdiam sesaat lalu katanya, “Kakakku Anton mengalami kecelakaan... sekarang ada di rumah sakit. Mama memintaku segera pulang agar di rumah ada yang jaga!” urai Ani dengan nada sedih.

Aku termangu sebentar mendengar ceritanya, lalu ucapku, “Ya sudah... kamu pulang sekarang saja!”

Tapi belum selesai aku bicara Ani sudah memotongnya, “Tapi aku kan janji mau mengantarkanmu pulang ke kost?”

“Aduh kamu tuh... kasihan mamamu dong! Santai sajalah... aku bisa naik angkot, biasanya angkot sampai jam sembilan kok, jadi masih bisa!” terangku. 

Sebenarnya aku dan Ani searah jalan pulang tapi cuma setengahnya, sampai perempatan ujung kota kami mesti berpisah, Ani berbelok arah ke selatan sedang aku menuju kost ke arah utara. Kalaupun aku nebeng dia sampai perempatan, risiko buat mencari angkutan lanjutan, apalagi malam-malam begini, mendingan aku mencari angkot di tempat mangkalnya... tidak jauh dari sini, atau bisa juga aku menghentikan di depan mall ini, jalur angkot ada yang lewat sini dan kebetulan langsung bisa ke kost tanpa mesti ganti angkutan lagi.

“Salam buat keluarga ya, An? Semoga kakakmu cepat sembuh!” ucapku kepadanya saat kami hendak berpisah.

Ani tersenyum dan mengangguk, “Sampai besok, ya?” jawabnya.

Kami lalu berpisah. Ani pergi ke parkiran sedang aku berdiri di depan mall menunggu angkot datang. Tak seberapa lama angkot yang aku tunggu datang, aku segera naik ke dalamnya, tidak banyak penumpang saat itu, hanya sekitar empat orang saja, maklum sudah malam... dan saat ini sudah banyak orang yang berganti armada motor. Sebenarnya aku sudah berencana membeli motor secara kredit, tapi aku masih ragu karena kondisi keuanganku sungguh mepet. Aku belum lama bekerja jadi tabunganku juga belum cukup, perhitunganku sih mesti ada dana cadangan tiga bulan buat hidup baru berani ambil kredit motor. Aku takut kalau sampai kredit macet motor bisa diambil kembali... lah rugi dong.

Angkot yang aku tumpangi berjalan dengan lambat dan santai karena sekalian mencari tambahan penumpang. Para penumpang kulihat terkantuk-kantuk karena kelelahan. Kalau dari pakaian yang dikenakan rata-rata mereka seperti aku, karyawan swasta.

Pelan tapi pasti, angkot meninggalkan pusat perkotaan menuju pinggiran. Suasana yang tadinya ramai berganti sepi, memang sih ada beberapa motor atau mobil yang lewat tapi itu cuma beberapa saja. Aku memang mencari kost yang ada di pingggiran karena harganya miring. 

“Loh... ada apa ini?” teriak seorang penumpang. 

Aku jadi tersadar dari lamunanku, ternyata angkot berhenti mendadak dan ada asap tipis keluar dari arah depan. Kami semua keluar termasuk sopir dan kernet.

“Wah... maaf... mobilnya mogok!” seru pak sopir.

“Yaaaah... gimana nih!” kami para penumpang bersungut-sungut.

Mungkin karena nggak enak hati dan takut diomeli, sopir itu minta kernet mengembalikan uang kami, terpaksalah kami berpencar mencari jalan pulang sendiri sendiri.

Aku mencoba mencari bantuan, kuambil handphone dari dalam tas dan kucoba menelpon teman kostku, siapa tahu ada yang bisa menjemputku di sini. Sudah malam begini agak sulit mencari angkutan karena jarang ada yang lewat. Untuk ikutan nebeng motor atau mobil yang lewat aku malah takut sendiri.

“Sial... sial...!” gerutuku, ketika kulihat layar handphone meredup... ternyata batrenya habis.

Terpaksa aku berjalan kaki menuju kost, belum begitu malam sih... baru jam delapan lebih lima belas menit. Aku perkirakan kurang dari satu jam aku bisa sampai kost jadi pintu gerbang belum ditutup.

Suasana malam begitu sepi, angin juga sepoi sepoi menerpa diriku dan mempermainkan rambutku. Hawa dingin mulai menusuk tubuhku karena aku tidak memakai jaket. Entah berapa lama aku berjalan tapi dari belakang kulihat nyala mobil… ah paling hanya mobil yang lewat begitu pikirku.

Eh... ternyata bukan mobil tapi angkot... aku segera melambaikan tanganku sebagai tanda aku bermaksud naik. Angkot itu lalu berhenti di depanku, aku segera masuk ke dalamnya. Cukup banyak penumpangnya, kulihat tiap deret kursi ada paling tidak satu atau dua orang. Aku duduk di salah satu kursi yang berisi satu orang. Setelah membayar ke kernet aku segera duduk dengan santai. Untunglah ada angkot yang lewat jadi aku tidak perlu berjalan kaki jauh, maklum aku sudah capek sekali setelah seharian kerja dan lembur pula.

Angin yang berhembus dari arah pintu membuatku semakin mengantuk. Ya aku duduk di kursi persis di samping pintu masuk.

“Pak, saya turun di perumahan Lembayung Asri ya!” seruku kepada kernet.

Kernet itu mengangguk lalu kembali mengalihkan pandangan keluar mencari penumpang lain. Sebenarnya aku agak heran dengan suasana angkot ini, karena tidak ada suara keriuhan yang kudengar baik dari para penumpang maupun sopir dan kernet. Mereka tampak diam membisu. Ataukah karena sudah malam sehingga mereka merasa lelah? Kernet yang biasa teriak-teriak mencari penumpang juga tampak berdiri diam saja bergelantung di pintu, para penumpang juga seakan di dunianya sendiri sendiri, diam tanpa ada interaksi satu sama lain. Kalau sopir sih aku paham... dia mesti konsentrasi menjalankan mesin.

“Pulang kerja, Pak?” kucoba membuka percakapan dengan bapak tua yang duduk di sampingku.

Bapak itu memalingkan wajahnya sebentar ke arahku, lalu mengangguk cepat dan kembali menghadap kedepan. Aneh... kenapa wajah bapak itu terlihat pucat dan tidak ada sinar kehidupan? Ah mungkin karena sudah tua dan sedang sakit... begitu aku menghibur diri. Aku jadi malas mengajaknya bicara, mendingan aku tiduran aja melepas lelah... tidur-tidur ayam begitu istilahnya, toh aku sudah bilang ke kernet untuk menurunkanku di perumahan Lembayung Asri. Nyaman dan enak sekali rasanya, sudah badan dalam kondisi capek, ditemani angin yang menerpaku serta suasana angkot yang sunyi tanpa suara… klop deh.

“Aduh... ada apa ini!” teriakku saat kepalaku membentur sesuatu yang keras. Kuraba kepalaku? Terasa sedikit mengeras dan menyembul... Aku mencoba membuka mata, meski terasa begitu berat karena rasa kantuk masih menggelayuti. Semburat tipis cahaya matahari terlihat dari ufuk timur, pertanda pagi sudah menjelang, kugosok-gosok kelopak mataku dengan tangan karena aku merasa ada yang aneh: benarkah ini kenyataan ataukah hanya mimpi? 

Kulirik jam yang melingkar di tanganku... jam enam pagi lebih beberapa menit. Aku belum sepenuhnya sadar... kulihat sekeliling seperti masih samar-samar.

Aku segera bangkit dari dudukku karena aku merasa pemandangan sekelilingku sungguh aneh, aku merasa tidak ada di kamar kostku tapi juga tidak di dalam angkot. Terakhir kuingat aku masih di angkot, tapi kini aku dimana ya? Kutajamkan mataku dan aku terbelalak... kenapa aku bisa ada di tengah areal pekuburan? Aku benar-benar tidak percaya, aku bahkan sampai mencubit pipiku berkali kali sambil terus mengucap istigfhar... ya ternyata benar! Aku memang ada di pekuburan. 

Masya Allah... jadi semalam aku naik angkot siluman? Dan kepalaku terbentur salah satu batu nisan yang ada di situ. Gemetaran aku segara berdiri... Kulihat pemukiman penduduk berada tidak terlalu jauh dari sini... aku harus segera mencapainya. Sambil terus berdoa dalam hati aku berlari terbirit-birit meninggalkan areal pekuburan itu.


Toilet Tua Di Kampus

(Gambar Hanya Ilustrasi, bukan tempat kejadian sebenarnya) Kalau sudah libur, asrama disini, tidak peduli asrama putri ataupun putra, termas...