Thursday, May 27, 2021

Wanita Penghuni Klub Malam

(Gambar Hanya Ilustrasi. Bukan Lokasi Sebenarnya)


Kisah ini aku alami sekitar satu tahun yang lalu. Ketika aku dan keempat temanku melakukan perjalanan dari Surabaya ke Wonosobo. Sampai di Magelang, kami memutuskan untuk singgah dan beristirahat di sebuah hotel untuk sekedar melepas lelah. 

Tak jauh dari hotel kami terdapat sebuah klub malam yang terlihat ramai pengunjung. Ferdy salah satu temanku yang penikmat klub malam mengajak kami untuk mengunjungi klub malam tersebut. 

Sekitar pukul 11 malam, kami pun bersiap-siap memasuki klub tersebut. Suasana klub begitu hingar bingar, aku, Ferdy, dan ketiga temanku yang lain pun larut dengan suasana klub itu. Secara tidak sadar Ferdy banyak mengkonsumsi minuman beralkohol, sehingga Ferdy hilang kontrol atau mabuk. 

Setelah lama berpesta, Ferdy merasa ingin pergi ke toilet. Ferdy pun keluar klub menuju toilet. Begitu selesai buang air, Ferdy berpapasan dengan seorang wanita cantik. Karena Ferdy sedang mabuk, Ferdy menarik wanita itu dan mengajaknya ngobrol sambil sesekali menciumi wanita itu. Sang wanita hanya diam saja sambil sesekali memandang Ferdy. Dan Ferdy pun semakin bernafsu dengan wanita itu. 

Di dalam klub, aku dan ketiga temanku yang lain mulai mencari Ferdy, akhirnya aku yang tidak dalam keadaan mabuk keluar mencari Ferdy. Begitu aku keluar, aku melihat Ferdy sedang mencumbu seorang wanita. Melihat aku berdiri di ujung lorong, Ferdy tetap saja mencumbu wanita itu. Ia tidak peduli, sedangkan aku masih berdiri memperhatikan Ferdy dari jauh.

Beberapa menit kemudian aku kembali masuk ke dalam klub, sedangkan Ferdy masih asik mecumbu wanita itu. Akhirnya setelah selesai melampiaskan nafsunya terhadap wanita itu, Ferdy pergi meninggalkan wanita itu dan masuk kembali ke dalam klub. Di dalam klub, aku dan ketiga temanku sedang berkumpul dengan wajah serius. Beberapa menit setelah itu, aku dan ketiga temanku menarik Ferdy dan pergi meninggalkan tempat itu. 

Di dalam hotel, Ferdy melihat aku dan ketiga temanku saling berdebat, dengan wajah yang penuh keringat dan badan kami berempat gemetaran. Sambil sesekali menoleh ke arah Ferdy, karena mabuk, Ferdy tidak menghiraukannya. 

Keesokan harinya, Ferdy terbangun. Ketika ia bangun, aku dan ketiga temanku sudah mengelilinginya. Setelah Ferdy sudah sadar 100%. Aku pun bercerita tentang kejadian semalam. Aku melihat Ferdy sedang mencumbui seorang wanita berbaju putih dan berambut panjang, wajah wanita itu rusak, dengan bola mata yang menggelantung di kelopak matanya. Dan wanita itu bertaring!

Aku melihat Ferdy menciumi bola mata wanita itu yang sudah keluar dari kelopaknya, Ferdy juga mejilati leher wanita itu yang sudah terburai dan dipenuhi belatung. Tidak hanya itu, aku juga melihat ada sosok anak kecil dengan kepala yang sudah bolong, sedang menjilati leher dan kuping Ferdy dengan lidahnya yang menjulur panjang. Saat itu aku, yang melihat kejadian itu merasa shock dan hampir pingsan. Sesungguhnya aku ingin menarik Ferdy dari wanita itu, tetapi urung dilakukan karena sang wanita memelototiku dengan tajam.

Mendengar ceritaku itu Ferdy hanya bisa membeku, keringat mengucur deras dari wajahnya. Ternyata yang ia cumbu adalah mahluk halus yang menyeramkan. Di leher Ferdy juga terdapat tanda merah seperti habis dijilat dengan kuat. Setelah mendengar cerita itu Ferdy muntah darah, dan sakit selama 1 minggu. Beruntung bagi Ferdy ia tidak mengalami apa-apa lagi setelah itu, tetapi hingga saat ini trauma yang ia alami belum hilang. Ia tidak lagi berani mengunjungi klub malam.


Wednesday, May 26, 2021

Hantu Sungai Ciliwung

(Sungai Ciliwung)


“Tolong..”

Sontak, mata Rina terbuka. Suara tangisan minta tolong itu terdengar lagi! Rina membalikkan tubuhnya berusaha mengacuhkan suara itu. Gerakannya itu membuat tidur adiknya jadi resah. 

“Sst... jangan berisik, Rina,” ucap ibu yang tidur di samping adik.

Mereka semua memang tidur berdempetan di atas kasur tipis. Mau bagaimana lagi, masih bagus ada atap yang menaungi mereka tidur. Rina hanya mengangguk pelan, tetapi tetap terdengar olehnya suara tangisan minta tolong di antara kecipak air sungai Ciliwung. 

Suara minta tolong itu hanya didengar olehnya. Keluarganya hanya menganggap ia salah dengar. Sedangkan teman-temannya malah menakut-nakuti. Mereka bilang itu tangisan hantu Sungai Ciliwung yang dibunuh dan jenazahnya dibuang ke sungai itu bertahun-tahun lalu. 

“Aduh, jangan suka ingat cerita yang macam-macam, ah! Hantu itu tidak ada!” hardik Rina pada dirinya sendiri. 

Namun, tetap saja ia merinding saat tangisan minta tolong sekali lagi terdengar, membelah malam sunyi dan gelap pekat tanpa lampu. 

Rina jadi kesal sendiri karena ia ketakutan dan tidak bisa tidur. Ia memutuskan untuk keluar dan membuktikan sendiri bahwa sama sekali tidak ada apa-apa di luar. 

Setelahnya, dia pasti akan tidur tenang. Maka, Rina pun memberanikan diri keluar diam-diam. Namun, apa yang Rina lihat? 

Peri kecil! Yup, peri kecil yang terjepit di antara tumpukan sampah sungai Ciliwung. Ia senang sekali melihat Rina. 

Tanpa buang waktu, Rina langsung menolong peri itu membebaskan diri.

“Terima kasih. Sudah lama sekali aku terjepit di sana,” kata peri itu. Kulitnya tampak kotor berlendir di bawah sinar bulan. 

“Huhuhuhuh... padahal dulu sungai ini cantik sekali, tapi sekarang, duh, susah sekali kalau mau ke sini, malah tersangkut sampah,” omel muram peri kecil. 

Nama peri itu Amora. Ia peri kecil penghibur hati. Tugasnya menghibur hati penduduk yang tinggal di tepi Sungai Ciliwung. Tadinya banyak sekali peri penghibur hati yang bertugas di Sungai Ciliwung. Namun, karena sampah-sampah semakin menggunung, semakin susahlah bagi para peri itu untuk berdayung menyusuri Ciliwung dengan perahu kecil mereka. Akibatnya, semakin sedikit peri yang datang untuk menghibur. Bisa ditebak, semakin sedikit penduduk yang tersenyum di tepi Sungai Ciliwung. 

Rina memang ingat, ibunya pernah bercerita dulu, penduduk di tepi Sungai Ciliwung selalu tertawa ceria. Seperti ada kekuatan hangat yang menyelimuti hati mereka. Namun, sekarang kehidupan terasa semakin keras dan semakin sedikit suara tawa yang terdengar di daerah sekitar rumahnya. 

Amora mengusap dahi. Perjalanan panjang itu menguras tenaganya. Ia hanya bisa memberi senyuman dan kegembiraan kepada Rina. Dengan seulas senyuman bersinar di pipinya, Amora pergi meninggalkan Ciliwung. 

Malam itu, Rina bekerja keras membersihkan sampah-sampah di sungai. Jelas, mustahil bagi seorang gadis kecil untuk melakukan itu semua sendirian. Soalnya, sampah di Ciliwung itu betul-betul banyak. Namun, Rina tetap bertekad untuk menjaga terus senyuman dari Amora. 

Dua puluh tahun kemudian. Ciliwung kembali bersih. Dan peri-peri penghibur hati pun kembali berdayung dengan riang ke sana, menyebar kebahagiaan. Tahukah kamu rahasianya? Ya, Rina belajar dengan rajin sampai berhasil menjadi anggota Dewan Kota yang menjalankan rencana pembersihan untuk Ciliwung. 

Rina menatap sungai bersih di depannya dengan gembira. Dalam hati, dia tahu tidak ada yang namanya peri penghibur hati. Namun, tempat yang bersih dan indah, tentu membawa kesehatan dan kebahagiaan bagi orang-orang yang tinggal di situ. 


Hantu Penghuni Gunung Sumbing

(Gunung Sumbing)


Kejadian tak terlupakan ini aku alami ketika aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, yaitu sekitar 5 tahun yang lalu. Pengalaman pertamaku mengenal yang namanya hantu ini aku alami ketika aku sedang melakukan pendakian bersama team Pecinta Alam di sekolahku.

Tepatnya di tahun 2009, aku bersama team Pecinta Alam sekolahku melakukan pendakian ke gunung Sumbing, Wonosobo, Jawa Tengah. Kami melakukan pendakian di bulan Desember bertepatan dengan musim penghujan.

Pendakian di mulai dari dukuh Kalikajar Garung dan mengambil rute jalur baru. Karena memang dari pos ini terdapat dua jalur pendakian yakni jalur lama yang agak landai medannya, dan jalur baru yang terjal dan curam jalannya. Kami berempat ditambah temanku dari anggota SAR-nya Sumbing, mulai mendaki setelah shalat Isya.

Sebenarnya kami tak mendapat izin dari team SAR karena cuaca buruk yakni hujan dan turun kabut. Tapi karena kami tak mau buang-buang waktu dan biaya, kami abaikan saja himbauan dari team SAR tersebut. Setelah bernegosiasi dan kami pun diizinkan naik tapi dengan syarat harus ditemani warga setempat.

Kebetulan salah satu anggota dari kami sudah ada yang kenal dengan beberapa personil tim SAR tersebut. Dan kami memilih ditemani personil tim SAR tersebut. Dengan iringan doa restu juru kunci dan teman-teman semua, kami berlima akhirnya bergerak menembus tebal dan gelapnya kabut.

Awalnya kami berlima enjoy-enjoy saja sewaktu melintasi ladang tembakau petani di bawah pos pasar setan, kami selalu bersama. Karena pengaruh suhu di gunung yang sangat dingin, aku pamit untuk kencing dahulu, dan teman-teman aku persilahkan jalan duluan, nanti aku nyusul di belakang.

Dengan sedikit terburu-buru aku lari ke semak-semak untuk menyelesaikan hajat. Begitu selesai kencing, aku lihat empat temanku masih menungguku, tadinya aku kira mereka sudah jalan duluan. Setia juga mereka, begitu pikirku. Akhirnya aku gabung lagi dengan teman-temanku untuk melanjutkan pendakian.

Sembari ngos-ngosan kami terus ngobrol ngalor ngidul, bersenda gurau sambil sekali-kali berhenti untuk minum. Hingga tak terasa perjalananku sudah sampai di padang rumput yang datar, posisi di bawah pos pasar setan. Teman-temanku minta waktu untuk istirahat sejenak sekedar untuk merokok dan makan cemilan. Akhirnya kita bongkar ransel logistik, kitapun makan snack dan minum minuman suplemen. Akupun menyulut rokok kretek sekedar untuk penghangat badan.

Belum habis rokokku sebatang, aku mendengar suara teriakan orang-orang memanggil-manggil namaku. Semakin lama semakin keras dan jelas suara teriakan-teriakan itu. Aku kaget campur heran, karena aku mengenali suara-suara yang memangil dan menyebut namaku. Suara temanku satu tim dan teman dari tim SAR.

Kalang kabut pikiranku waktu itu. 

“Bukannya mereka sedang bersamaku sekarang? Kenapa suara mereka kedengaran sangat jauh…?” pikirku.

Keherananku jadi lebih tak karu-karuan ketika aku menengok ke belakang ke tempat empat temanku istirahat.

“Ya Allah…! KOSONG..!” teriakku.

Tak ada siapapun kecuali aku berdiri sendirian. Spontan berdiri semua bulu kudukku, hilang pikiran sehatku, rontok semua keberanianku. Dalam balutan ketakutan dan rasa masih tak percaya dengan yang kuhadapi, pelan-pelan aku tinggalkan tempat sialan ini. Aku naik menyusul suara teman-temanku yang memanggilku dari atas.

Begitu sudah agak jauh dari tempat kejadian, aku ambil ajian langkah seribu, lari tunggang langgang. Tak perduli gelap, banyak akar maupun batu dan jurang yang menganga di sepanjang jalan. Aku terus berlari jatuh bangun mendekati suara teriakan teman-temanku yang kedengarannya sudah ada di atasku.

Dengan tergopoh-gopoh dan mandi keringat -padahal suhu sangat dingin- aku temukan teman-temanku yang sudah menunggu. Kecemasan sangat jelas terlihat di raut wajah teman-temanku. Mereka mengira aku tersesat karena tak tahu jalan. Dan aku mengiyakan saja. Aku tidak mau mereka ikut-ikutan takut, apalagi sampai pendakian gagal. Dan malam itu kami buka tenda dan bermalam di pos Pasar setan.

Wednesday, May 19, 2021

Rumah Tua di Tepi Jalan

(Gambar Hanya Sekedar Ilustrasi, Bukan Tempat Kejadian Sebenarnya)


Malam itu, bukan main gelapnya sampai jalanan tidak begitu jelas terlihat, ditambah hujan turun dengan lebatnya sejak petang tadi. Hawa dingin pun terasa hingga sampai ke tulang. Aku berjalan perlahan menoleh ke kiri dan kanan untuk mencari tempat berteduh. Jalanan gelap tidak ada penerangan sama sekali karena sejak tadi listrik padam. Dalam kegelapan dan hujan yang begitu deras, membuat jalanku tertatih dan terkadang hampir jatuh tersungkur. 

Aku hanya bergantung pada kilat yang datang. Setiap kilat memancar, mataku melihat ke kiri dan ke kanan mencari tempat berteduh. Tapi belum juga terlihat olehku tempat berteduh yang aman. Di kanan kiri hanya terdapat pohon-pohon besar saja. Aku tidak berani berteduh di bawah pohon karena aku teringat akan nasihat orang-orang tua bahwa petir suka menyambar pohon. Ketika kilat memancar sekali lagi, terlihat olehku sebuah rumah di antara pohon-pohon besar itu. Dan terdapat jalan setapak ke arah rumah tersebut. Pelan-pelan aku berjalan menuju rumah tersebut. 

“Semoga aku dapat berteduh di rumah itu sementara. Syukur kalau tuan rumahnya orang baik dan bersedia mempekerjakanku dan tinggal di rumah itu” kataku dalam hati.

“Setidaknya aku bisa menjadi tukang belah kayu atau membantu mengangkat air. Semoga tuan rumahnya mempunyai belas kasih kepada pengemis sepertiku ini” pikirku.

Akhirnya sampai juga aku di rumah itu. Rumah itu terlihat gelap gulita. Satu cahaya api pun tidak nampak dari luar. Mungkin penghuninya sedang tidur terlelap. Aku terus menuju ke pintu depan yang tertutup rapat. Awalnya aku ingin mengetuk pintu, tapi aku urungkan niatku karena aku berpikir mungkin penghuninya sedang tidur nyenyak dan aku tidak ingin mengganggunya. Namun karena di luar terasa sangat dingin dan bajuku pun sudah basah kuyub. Aku pun tidak kuat lagi menahan rasa dingin ini. Akhirnya aku beranikan diri untuk mengetuk pintu. Belum sempat aku mengangkat tangan untuk mengetuk pintu itu, tiba-tiba satu tiupan angin dari belakangku telah membuka pintu itu dengan sendirinya. 

“Ngeeekk,” bunyi pintu itu terbuka dengan perlahan.

Aku menengok ke dalam rumah, tapi tak terlihat apa pun di dalam rumah itu. Setelah aku menunggu agak lama, akhirnya aku pun menyadari kalau rumah itu kosong entah tidak berpenghuni atau penghuninya sedang keluar. Kulihat atapnya pun sudah ada yang bocor. Sehingga ada sebagian air hujan yang masuk ke dalam rumah.  Di bagian belakang ruang tamu terlihat ada sebuah kamar. Aku masuk dan berjalan menuju ke kamar itu. Betul, disitu memang terdapat sebuah kamar yang masih lumayan bagus. Cuma bocor sedikit saja.

Aku kembali ke ruang tamu dan menutup pintu depan kemudian kembali masuk kamar dan menutup pintunya. Aku mulai membuka bajuku yang basah kuyup karena kehujanan. Kemudian aku merogoh saku celanaku untuk mengambil korek api yang aku temukan di jalanan. Kemudian aku keluar kamar dan mencari dapur untuk mencari kayu atau sesuatu yang dapat digunakan untuk membuat api agar aku dapat menghangatkan tubuh dan pakaianku. 

Akhirnya aku menemukan beberapa batang kayu di dapur. Dan aku pun mulai membakar kayu itu untuk mengeringkan bajuku dan juga menghangatkan tubuhku. Dengan cahaya api inilah aku bisa melihat dengan jelas isi rumah itu. Dindingnya semua sudah buruk, tingkapnya ada yang sudah tidak tertutup lagi. Hanya kamar yang aku masuki tadi adalah kamar yang lumayan sedikit baik daripada kamar lainnya. Aku pun memutuskan akan menjadikan rumah itu tempat perlindunganku yang tetap waktu malam hari setelah meminta sedekah, kerana lebih baik tinggal di situ daripada tidur di kaki lima setiap malam. 

Rasa kantuk pun akhirnya menghinggapiku dan aku pun pergi berbaring di kamar yang kering tadi dan memejamkan mata. Baru saja aku memejamkan mata, tiba-tiba aku men dengar bunyi pintu kamar tamu seperti dibuka orang. Belum sempat aku bangun hendak melihat apakah gerangannya yang membuka pintu itu tiba-tiba aku mendengar bunyi tapak kaki orang masuk. Aku pun mendiamkan diri dalam kamar itu.

Orang itu berjalan di depan kamar dimana aku sembunyi dan menuju api yang aku hidupkan di dapur. Aku bangun dan mengendap-mengendap.

“Barangkali inilah tuan rumah ini,” pikirku.

Alangkah marah dan terkejut bila dia melihat aku berani masuk ke dalam rumahnya. Ah, mungkin juga dia seorang peminta sedekah seperti aku. Karena pakaiannya pun koyak robek seperti yang aku pakai. Orang itu tinggi dan kurus. Mukanya cekung seolah-olah baru sembuh dari sakit. Dia duduk mencangkung di hadapan dapur dan menggerak-gerakkan kedua-dua tangannya dekat api. Matanya lekat memandang api itu seolah-olah ada benda yang aneh dilihatnya. 

Dia tidak menoleh ke kiri atau ke kanan dan sekali-kali tidak menghiraukan pakaianku yang tergantung dekat api itu. Hatiku tak enak membiarkan dia di situ seorang diri. Dengan fikiran yang serba salah akhirnya aku keluar perlahan-lahan dari kamar itu dan terus berkata, 

“Maafkan saya, Tuan, saya hendak mengambil pakaian saya!”

Dia menoleh dan tidak berkata sepatah pun melainkan hanya mengangguk dan mempersilakanku mengambil pakaian itu. Aku pun mengambil pakaianku yang masih setengah kering dan memakainya. Dia memandang ke arah api yang mulai redup. Kemudian aku mengambil lima batang kayu lagi dan menambahkan ke bara api tadi agar menyala lagi lebih terang. Lalu Aku duduk di sampingnya dan dia pun masih duduk terdiam tidak berkata sepatah pun. Aku melihat dia yang tampak masih basah kuyup daripada aku. Air yang turun dari badannya tidak berhenti mencucuri ke lantai.

“Lebat sekali hujan malam ini!” kataku memulai percakapan.

“Ya,” jawabnya. Suaranya parau seperti satu suara yang keluar dari dalam gaung.

“Bapak dari mana?” tanyaku lagi.

Dia menoleh ke arah ku dan sambil tersenyum berkata,

“Saya kehujanan seperti Anda juga dan datang berlindung di sini!”

“Baguslah!” kataku. “Jadi saya ada kawan!” lanjutku.

Sedikit demi sedikit mulailah orang itu mau diajak ngobrol. Hilang rasa mengantukku. Kami mengobrol tentang bermacam-macam hal hingga akhirnya mengenai rumah tempat kami berteduh itu.

“Anda tahu kalau rumah ini berhantu?” katanya.

Aku hanya menggelengkan kepala saja sambil memandang keliling rumah itu.

“Tuan rumah ini dulu seorang kuli kebun getah. Orangnya baik dan sangat disayangi oleh managernya. Dan tidak lama kemudian dia dilantik menjadi mandor menjaga kuli-kuli yang bekerja.

“Karena rajin dan tekunnya, maka manager itu melantik dia menjadi pengurus penjual getah di bandar. Pekerjaan ini menyebabkan dia selalu tidak ada di rumah...” kata orang itu.

“Dia mempunyai seorang isteri dan mempunyai dua anak yang sudah beranjak remaja. Rupanya ketika dia tidak ada di rumah, isterinya selingkuh dengan manager kebun getah itu. Mula-mula dia tidak tahu, tetapi pada suatu hari, ketika dia balik ke rumah didapatinya manager dan isterinya sedang berbaring berdua di atas tempat tidur. Dia pun segera mencabut parang terus membunuh kedua-duanya,” lanjutnya sambil menunjuk sebuah foto di dinding sambil berkata kembali, “Dialah yang telah menghabisi istri dan selingkuhannya sekaligus, dan kemudian dia lalu bunuh diri dengan parang yang sama.”

Spontan aku melihat foto yang terlihat samar-samar di dinding itu... meskipun foto itu sudah begitu kotor dan agak kabur tapi aku dapat dengan jelas melihat gambar foto itu. Dan ternyata... foto itu adalah fotonya. Seketika itu pula aku jatuh pingsan di sampingnya.


Toilet Tua Di Kampus

(Gambar Hanya Ilustrasi, bukan tempat kejadian sebenarnya) Kalau sudah libur, asrama disini, tidak peduli asrama putri ataupun putra, termas...