“Popobawa adalah makhluk yang dilaporkan berada di Zanzibar dan Tanzania. Makhluk ini adalah iblis yang muncul sebagai manusia saat siang hari tapi berubah menjadi makhluk bermata satu, bersayap kelelawar pada malam hari. Popobawa menyerang dalam kegelapan malam. Popobawa merupakan mimpi buruk atau terror malam dimana seseorang mengalami halusinasi antara tidur dan terbangun. Popobawa dalam bahasa Swahili diartikan “sayap kelelawar”.
Di bawah ini adalah kisahku saat bertemu Popobawa yang berubah wujud meniru salah seorang teman lamaku.
Siapa sih yang tidak suka bertemu dengan teman lama? Kita bisa bernostalgia, membicarakan segala hal yang sudah lewat, melatih otak kembali ke masa lalu plus dibumbui peristiwa lucu dan menggemaskan membuat kita jadi tertawa geli sendiri. Pokoknya cerita kejadian-kejadian di masa silam ibarat seperti sebuah film yang diputar ulang di masa kini. Membuat kita kembali mengenang kejadian yang pernah dilalui.
Tapi rupanya tidak semuanya demikian, dulu kupikir bila bertemu teman lama akan menimbulkan keceriaan bersama dengan saling bertukar cerita tentang masa silam, tapi ternyata ada sebuah kejadian yang membuatku gemetaran bila teringat. Aku tidak pernah menyangka sebelumnya.
“Akando, ya?” teriakku girang.
Akando adalah temanku di Junior High School di Tanzania dulu.
“Ooh... Bandele kan ini?” jawabnya tak kalah suka cita.
Kami lalu berjabat tangan dan saling memandangi satu sama lain. Bukan apa-apa, karena sudah sekian lama tidak berjumpa pasti ada perubahan paling tidak secara fisik... lebih tua… hahahah. Akando yang kulihat saat itu tidak jauh berbeda dengan ketika masih remaja dulu. Kepalanya tetap saja dihiasi rambut kribo, perawakannya masih gendut dan besar, hanya raut mukanya tampak lebih tua dibanding usianya, banyak garis-garis kekerasan hidup yang menghiasinya. Tampaknya dia juga sedang menilaiku karena aku melihat sorot matanya yang menelusuriku dari atas sampai bawah. Hanya saja aku merasa mata itu seperti bukan mata manusia. Ada kekelaman dan kengerian yang terpancar di situ
“Akando... kenapa kamu bertambah hitam saja!” aku mencoba bercanda.
“Namanya juga orang Afrika, kamu juga tetap hitam tuh!” begitu balas dia.
“Mau kemana nih?” tanyaku.
“Pulang kampung lah, kamu sendiri?” balasnya balik bertanya.
“Loh kok sama...!” Aku terkejut tapi juga senang, berarti ada teman selama dalam perjalanan pulang.
“Wah, asyik... kita bisa satu bus!” Akando lalu merangkulku dan mengajakku ke sebuah bus.
Bus yang kami tumpangi belum terlalu banyak penumpang, maklum sekarang bukan akhir minggu apalagi hari libur. Kami juga naik dari halte yang sama. Duduk di deretan belakang untuk kursi yang berjumlah dua dan berada dekat pintu, membuat kami berdua lebih leluasa bercerita kesana kemari.
“Kerja apa kamu Bandele? Bajumu rapi amat!” seru Akando, matanya mengarah ke arahku.
“Karyawan biasa saja di sebuah Rumah Sakit Swasta. Kalau kamu sendiri?” aku ganti bertanya.
“Hmmh... ya gitulah...!” jawabnya
“Gitulah gimana?” aku pura pura tidak mengerti, padahal hati kecilku sudah bisa menebak kalau dia pasti bekerja informal karena penampilannya tampak lusuh.
Kulihat dia menghela nafas, lalu dengan suara pelan terkesan malu dia berucap pendek, “ Buruh bangunan!”
“Ah, kerja apa saja asal tidak merugikan orang lain pasti akan direstui Tuhan! Siapa tahu nasib berubah!” kucoba menghiburnya.
Aku tidak memperpanjang bertanya mengenai pekerjaan lagi. Aku menyadari tentu berat bagi seorang pria macam kami ini bila tidak ada pekerjaan tetap. Tuntutan hidup dan penilaian masyarakat mengisyaratkan bahwa kaum lelaki adalah pencari nafkah utama sehingga mau tak mau kami berkompetisi mencari lahan ekonomi.
“Kamu sudah menikah ya? Sudah ada berapa anak?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. Kulihat dia mengenakan cincin kawin di salah satu jarinya.
Akando tersenyum getir, agak lama dia diam sebelum akhirnya ia mengangguk pelan. Aku jadi penasaran apa yang sudah menimpanya? Biasanya orang akan bersuka cita bila ditanya soal keluarga terutama anak-anaknya. Ini kok dia tampak enggan? Jadi pingin tahu nih!
“Cerita dong... ingin mengikuti jejakmu! Sampai sekarang aku masih jomblo belum laku-laku nih!” rayuku meminta dia menceritakan soal keluarganya.
Dia tertawa meski tampak dipaksakan, lalu mulutnya bergetar mengucapkan, “Istri dan anak-anakku sudah meninggal. Mereka diserang binatang buas...” berhenti sebentar dia lalu melanjutkan, “Maaf, gimana kalau tidak cerita soal itu? Aku...”
“Aku ikut prihatin.” kutepuk bahunya pelan.
“Kamu masih ingat teman-teman yang lain? Pernah ketemu?” tanyaku beruntun berupaya mencari topik lain yang membuat suasana jadi lebih hangat.
Akando menggeleng, kok dia kurang antusias ya? “Bandele, mau eggak nanti mampir ke rumahku sebentar?”
“Ke rumahmu?” aku tidak percaya dengan ucapannya.
“Iya... ayolah, sebentar saja!” pintanya sedikit memaksa.
Meski sedikit ragu, akhirnya aku mengiyakan ajakannya. Di perempatan jalan kami turun dan berjalan bersama menuju rumah dia. Melewati ladang tandus, aku terseok-seok menyusuri jalan setapak. Aku agak heran karena jalan ini berakhir di hutan, masak rumah Akando ada di hutan?
“Rumahmu masih jauh ya?” tanyaku dengan sedikit terengah-engah karena kecapaian.
“Sebentar lagi, juga sampai!” jawabnya pendek. Senyum misteriusnya tersungging.
Aku mengangguk saja, meski lelah aku tetap melanjutkan perjalanan apalagi kulihat matahari juga sebentar lagi akan turun di peraduan alias menjelang petang. Kuharap kami segera sampai di rumahnya untuk bisa beristirahat dan sekedar minum menyegarkan tenggorokan.
Jalanan mulai sepi, sinar matahari pun juga menghilang ditelan malam. Kami sudah jauh berjalan, tapi kulihat Akando tetap fit tidak terlihat lelah sama sekali.
“Akando... tolong istirahat sebentar!” pintaku terengah-engah. Kakiku terasa ngilu dan pegal. Aku bahkan langsung duduk di atas tanah untuk melemaskan otot otot kaki.
“Ayolah Bandele... sebentar lagi sampai!”
Aku menggeleng, aku benar-benar tidak kuat lagi. “Emang kamu mau menggendong aku!” kucoba untuk bercanda agar suasana cair, tapi di luar dugaan Akando terlihat marah.
“Ayo cepat berdiri!” hardik Akando dengan kerasnya.
Aku kaget mendengar suaranya, hatiku tersinggung dihardik seperti itu, memangnya dia siapa? Menyuruhku semaunya sendiri.
“Tidak Akando! Aku lelah, aku mau istirahat dulu!” ujarku ketus, kupandangi Akando dengan tajam.
Lalu tiba-tiba aku merasa ada yang berubah pada diri temanku itu. Dia seperti tertelan kabut dan pelan-pelan berubah wujud. Kini di hadapanku adalah sebuah makhluk aneh bermata satu dan bersayap seperti kelelawar.
Aku menjerit sekeras-kerasnya, berusaha sekuat tenaga aku berdiri, ya aku bermaksud lari mencari bantuan, tapi entah kenapa kedua kakiku ini seperti terpaku di tanah tandus ini, sama sekali tidak bisa digerakkan.
Pelan-pelan Akando berjalan ke arahku, matanya yang cuma satu berwarna merah darah menatapku dengan tajam. Dia laksana binatang buas yang siap melahap mangsanya. Sedangkan aku seperti umpan kecil yang tidak punya tenaga untuk memberontak.
Untunglah aku masih ingat Tuhan, kuraih kalung Rosario di leherku dan kupanjatkan doa-doa sebisaku meminta pertolongan Tuhan.
Entah kenapa tiba-tiba makhluk itu menghilang.
“Hei kamu kenapa?” suara seseorang di belakangku mengagetkanku.
Kutengok kearah suara itu, kulihat dua orang lelaki tua memanggul keranjang besar di punggungnya.
“Kalau mau cari bus lewat jalan itu tuh!” salah seorang dari mereka menunjuk ke seberang.
“Kalau mau ke hutan ya lewat situ!” seorang lagi menunjuk arah di depanku, “Memang kenapa mau ke hutan malam-malam! Awas ketemu Popobawa baru tahu rasa!”
“Eh... Oh... aku mau cari bus buat pulang, Bapak-bapak juga kan?” tanyaku dengan gemetaran.
“Iya kami dari ladang tadi dan mau menumpang bus untuk pulang!” jawab salah satu dari mereka.
“Wah kebetulan, kita bisa sama-sama nih!” aku segera bergabung dengan mereka.
Sambil berjalan. Kutengok sebentar ke arah belakang, hutan yang berselimut gelap tampak bagai layar misteri yang siap menyergapku. Kupercepat langkahku mengikuti kedua orang tua tadi menuju jalan yang dilewati bus. Kubayangkan seandainya tidak ada orang tua itu, tentu nasibku akan berakhir tragis di tangan Popobawa.
No comments:
Post a Comment