(Gambar Hanya Sekedar Ilustrasi, Bukan Tempat Kejadian Sebenarnya)
Malam itu, bukan main gelapnya sampai jalanan tidak begitu jelas terlihat, ditambah hujan turun dengan lebatnya sejak petang tadi. Hawa dingin pun terasa hingga sampai ke tulang. Aku berjalan perlahan menoleh ke kiri dan kanan untuk mencari tempat berteduh. Jalanan gelap tidak ada penerangan sama sekali karena sejak tadi listrik padam. Dalam kegelapan dan hujan yang begitu deras, membuat jalanku tertatih dan terkadang hampir jatuh tersungkur.
Aku hanya bergantung pada kilat yang datang. Setiap kilat memancar, mataku melihat ke kiri dan ke kanan mencari tempat berteduh. Tapi belum juga terlihat olehku tempat berteduh yang aman. Di kanan kiri hanya terdapat pohon-pohon besar saja. Aku tidak berani berteduh di bawah pohon karena aku teringat akan nasihat orang-orang tua bahwa petir suka menyambar pohon. Ketika kilat memancar sekali lagi, terlihat olehku sebuah rumah di antara pohon-pohon besar itu. Dan terdapat jalan setapak ke arah rumah tersebut. Pelan-pelan aku berjalan menuju rumah tersebut.
“Semoga aku dapat berteduh di rumah itu sementara. Syukur kalau tuan rumahnya orang baik dan bersedia mempekerjakanku dan tinggal di rumah itu” kataku dalam hati.
“Setidaknya aku bisa menjadi tukang belah kayu atau membantu mengangkat air. Semoga tuan rumahnya mempunyai belas kasih kepada pengemis sepertiku ini” pikirku.
Akhirnya sampai juga aku di rumah itu. Rumah itu terlihat gelap gulita. Satu cahaya api pun tidak nampak dari luar. Mungkin penghuninya sedang tidur terlelap. Aku terus menuju ke pintu depan yang tertutup rapat. Awalnya aku ingin mengetuk pintu, tapi aku urungkan niatku karena aku berpikir mungkin penghuninya sedang tidur nyenyak dan aku tidak ingin mengganggunya. Namun karena di luar terasa sangat dingin dan bajuku pun sudah basah kuyub. Aku pun tidak kuat lagi menahan rasa dingin ini. Akhirnya aku beranikan diri untuk mengetuk pintu. Belum sempat aku mengangkat tangan untuk mengetuk pintu itu, tiba-tiba satu tiupan angin dari belakangku telah membuka pintu itu dengan sendirinya.
“Ngeeekk,” bunyi pintu itu terbuka dengan perlahan.
Aku menengok ke dalam rumah, tapi tak terlihat apa pun di dalam rumah itu. Setelah aku menunggu agak lama, akhirnya aku pun menyadari kalau rumah itu kosong entah tidak berpenghuni atau penghuninya sedang keluar. Kulihat atapnya pun sudah ada yang bocor. Sehingga ada sebagian air hujan yang masuk ke dalam rumah. Di bagian belakang ruang tamu terlihat ada sebuah kamar. Aku masuk dan berjalan menuju ke kamar itu. Betul, disitu memang terdapat sebuah kamar yang masih lumayan bagus. Cuma bocor sedikit saja.
Aku kembali ke ruang tamu dan menutup pintu depan kemudian kembali masuk kamar dan menutup pintunya. Aku mulai membuka bajuku yang basah kuyup karena kehujanan. Kemudian aku merogoh saku celanaku untuk mengambil korek api yang aku temukan di jalanan. Kemudian aku keluar kamar dan mencari dapur untuk mencari kayu atau sesuatu yang dapat digunakan untuk membuat api agar aku dapat menghangatkan tubuh dan pakaianku.
Akhirnya aku menemukan beberapa batang kayu di dapur. Dan aku pun mulai membakar kayu itu untuk mengeringkan bajuku dan juga menghangatkan tubuhku. Dengan cahaya api inilah aku bisa melihat dengan jelas isi rumah itu. Dindingnya semua sudah buruk, tingkapnya ada yang sudah tidak tertutup lagi. Hanya kamar yang aku masuki tadi adalah kamar yang lumayan sedikit baik daripada kamar lainnya. Aku pun memutuskan akan menjadikan rumah itu tempat perlindunganku yang tetap waktu malam hari setelah meminta sedekah, kerana lebih baik tinggal di situ daripada tidur di kaki lima setiap malam.
Rasa kantuk pun akhirnya menghinggapiku dan aku pun pergi berbaring di kamar yang kering tadi dan memejamkan mata. Baru saja aku memejamkan mata, tiba-tiba aku men dengar bunyi pintu kamar tamu seperti dibuka orang. Belum sempat aku bangun hendak melihat apakah gerangannya yang membuka pintu itu tiba-tiba aku mendengar bunyi tapak kaki orang masuk. Aku pun mendiamkan diri dalam kamar itu.
Orang itu berjalan di depan kamar dimana aku sembunyi dan menuju api yang aku hidupkan di dapur. Aku bangun dan mengendap-mengendap.
“Barangkali inilah tuan rumah ini,” pikirku.
Alangkah marah dan terkejut bila dia melihat aku berani masuk ke dalam rumahnya. Ah, mungkin juga dia seorang peminta sedekah seperti aku. Karena pakaiannya pun koyak robek seperti yang aku pakai. Orang itu tinggi dan kurus. Mukanya cekung seolah-olah baru sembuh dari sakit. Dia duduk mencangkung di hadapan dapur dan menggerak-gerakkan kedua-dua tangannya dekat api. Matanya lekat memandang api itu seolah-olah ada benda yang aneh dilihatnya.
Dia tidak menoleh ke kiri atau ke kanan dan sekali-kali tidak menghiraukan pakaianku yang tergantung dekat api itu. Hatiku tak enak membiarkan dia di situ seorang diri. Dengan fikiran yang serba salah akhirnya aku keluar perlahan-lahan dari kamar itu dan terus berkata,
“Maafkan saya, Tuan, saya hendak mengambil pakaian saya!”
Dia menoleh dan tidak berkata sepatah pun melainkan hanya mengangguk dan mempersilakanku mengambil pakaian itu. Aku pun mengambil pakaianku yang masih setengah kering dan memakainya. Dia memandang ke arah api yang mulai redup. Kemudian aku mengambil lima batang kayu lagi dan menambahkan ke bara api tadi agar menyala lagi lebih terang. Lalu Aku duduk di sampingnya dan dia pun masih duduk terdiam tidak berkata sepatah pun. Aku melihat dia yang tampak masih basah kuyup daripada aku. Air yang turun dari badannya tidak berhenti mencucuri ke lantai.
“Lebat sekali hujan malam ini!” kataku memulai percakapan.
“Ya,” jawabnya. Suaranya parau seperti satu suara yang keluar dari dalam gaung.
“Bapak dari mana?” tanyaku lagi.
Dia menoleh ke arah ku dan sambil tersenyum berkata,
“Saya kehujanan seperti Anda juga dan datang berlindung di sini!”
“Baguslah!” kataku. “Jadi saya ada kawan!” lanjutku.
Sedikit demi sedikit mulailah orang itu mau diajak ngobrol. Hilang rasa mengantukku. Kami mengobrol tentang bermacam-macam hal hingga akhirnya mengenai rumah tempat kami berteduh itu.
“Anda tahu kalau rumah ini berhantu?” katanya.
Aku hanya menggelengkan kepala saja sambil memandang keliling rumah itu.
“Tuan rumah ini dulu seorang kuli kebun getah. Orangnya baik dan sangat disayangi oleh managernya. Dan tidak lama kemudian dia dilantik menjadi mandor menjaga kuli-kuli yang bekerja.
“Karena rajin dan tekunnya, maka manager itu melantik dia menjadi pengurus penjual getah di bandar. Pekerjaan ini menyebabkan dia selalu tidak ada di rumah...” kata orang itu.
“Dia mempunyai seorang isteri dan mempunyai dua anak yang sudah beranjak remaja. Rupanya ketika dia tidak ada di rumah, isterinya selingkuh dengan manager kebun getah itu. Mula-mula dia tidak tahu, tetapi pada suatu hari, ketika dia balik ke rumah didapatinya manager dan isterinya sedang berbaring berdua di atas tempat tidur. Dia pun segera mencabut parang terus membunuh kedua-duanya,” lanjutnya sambil menunjuk sebuah foto di dinding sambil berkata kembali, “Dialah yang telah menghabisi istri dan selingkuhannya sekaligus, dan kemudian dia lalu bunuh diri dengan parang yang sama.”
Spontan aku melihat foto yang terlihat samar-samar di dinding itu... meskipun foto itu sudah begitu kotor dan agak kabur tapi aku dapat dengan jelas melihat gambar foto itu. Dan ternyata... foto itu adalah fotonya. Seketika itu pula aku jatuh pingsan di sampingnya.